Mirip di Saudi, Perisai Rudal AS di Jepang Gagal Deteksi Misil Korea Utara - Radar Militer

24 September 2019

Mirip di Saudi, Perisai Rudal AS di Jepang Gagal Deteksi Misil Korea Utara


Kegagalan sistem pertahanan atau perisai rudal buatan Amerika Serikat (AS) dalam mendeteksi serangan pesawat nirawak dan rudal tak hanya terjadi di Arab Saudi. Sistem pertahanan Amerika yang dioperasikan di Jepang juga gagal mendeteksi rudal jarak pendek terbaru Korea Utara (Korut).
Ilustrasi Uji Coba Misil Korea Utara
Ilustrasi Uji Coba Misil Korea Utara
Ketidakmampuan sistem pertahanan di Jepang itu memicu kecemasan para pejabat negara Matahari Terbit. Kegagalan itu berarti membuat wilayah Jepang rentan terhadap serangan misil Pyongyang.
Selama beberapa minggu terakhir, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah memimpin serangkaian tes misil, termasuk rudal ja
Sumber pejabat Jepang mengatakan kepada Japan Times bahwa kapal perusak yang dilengkapi sistem pertahanan Aegis mengalami masalah dalam mendeteksi proyektil Korut yang diuji tembak belum lama ini. Sistem perisai rudal Aegis diproduksi oleh kontraktor pertahanan Lockheed Martin.
Kapal perusak dengan sistem pertahanan Aegis sudah lama dikerahkan di Laut Jepang dan dioperasikan Angkayan Udara Pasukan Bela Diri Jepang.
Korut sendiri belum mengonfirmasi jenis misil terbaru yang diuji tembak. Misil itu terbilang canggih karena lintasan terbangnya tidak teratur sehingga membuatnya sulit dideteksi radar dari sistem pertahanan sekelas Aegis.
Kasus seperti ini sangat memprihatinkan karena misil Korut mampu menjangkau Jepang. Fakta bahwa misil-misil rezim Kim Jong-un terbang pada ketinggian 60 kilometer. Yang mengejutkan, teknologi seperti itu dikembangkan oleh rezim yang dihajar sanksi internasional secara besar-besaran.
Japan Times dalam laporannya yang dikutip Selasa (24/9/2019), menyatakan pemerintah Jepang didesak bertindak cepat dan menyamai teknologi canggih amunisi baru menyerupai Rudal Taktis MGM-140 yang digunakan oleh AS dan Korea Selatan.
Kegagalan pendeteksian rudal oleh sistem pertahanan Aegis di Jepang juga terjadi di tengah perseteruan Tokyo dan Seoul, di mana Korea Selatan secara sepihak mengakhiri Perjanjian Keamanan Informasi Militer (GSOMIA) 2016 pada 22 Agustus lalu.
Pejabat Dewan Keamanan Nasional Korea Selatan, Kim You Geun, mengatakan penarikan diri Seoul dari GSOMIA 2016 sebagai tanggapan atas perseteruan dengan Tokyo yang semakin meruncing.
Hubungan kedua negara ini tegang setelah pengadilan di Seoul pada Juni lalu memutuskan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang harus memberikan kompensasi kepada para korban kerja paksa selama penjajahan Semenanjung Korea antara 1910-1945. Tokyo menegaskan bahwa masalah itu sudah diselesaikan.
"Dalam keadaan ini, pemerintah Republik Korea memutuskan bahwa mempertahankan perjanjian ini, yang ditandatangani untuk memfasilitasi pertukaran informasi militer yang sensitif, tidak melayani kepentingan nasional kita," kata Kim You Geun seperti dilaporkan Washington Post.
Dia secara eksplisit mencatat bahwa Jepang mengecualikan Korea Selatan dari daftar mitra dagang secara langsung mengisyaratkan perubahan mendasar terhadap lingkungan untuk kerja sama keamanan.
Ketika Jepang gagal mendeteksi serangkaian peluncuran rudal Korea Utara, Korea Selatan tidak memiliki radar yang mampu dengan segera menginformasikan kepada publik tentang situasi di Semenanjung Korea.
"Satu-satunya pemenang ketika Jepang dan Korea berseteru adalah pesaing kami," kata Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Keamanan Indo-Pasifik Randall Schriver mengatakan kepada Pusat Studi Strategis dan Internasional setelah penarikan Seoul dari GSOMIA bulan lalu.
"Perselisihan historis, permusuhan dan ketidaksepakatan politik (antara Korea Selatan dan Jepang) harus dipisahkan dari kerja sama militer dan keamanan yang penting," ujarnya.
Kegagalan sistem pertahanan AS yang dioperasikan Arab Saudi lebih parah lagi. Sistem pertahanan rudal Patriot yang diproduksi Raytheon jadi bahan olok-olokan Rusia setelah gagal mendeteksi dan menghalau serangan pesawat nirawak dan rudal yang menghantam dua kilang minyak Saudi Aramco pada 14 September lalu. Serangan besar-besaran itu melumpuhkan separuh dari total produksi minyak kerajaan.
Iran yang dituduh AS sebagai pelaku serangan telah membantah. Sedangkan pemberontak Houthi Yaman yang berperang dengan Arab Saudi mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.(Muhaimin)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb