radarmiliter.com - Salah satu pesawat tua yang masih dipertahankan militer Amerika Serikat hingga kini adalah pesawat mata-mata U-2 yang dijuluki Dragon Lady. Jenis pesawat ini pernah ditembak jatuh dua kali oleh Uni Soviet di masa peran dingin lalu: pertama di Uni Soviet pada 1960 dan kedua selang dua tahun di wilayah udara Kuba.
Dua insiden itu pula yang menjadi momentum Amerika mengembangkan teknologi drone yang tak berawak. Tapi toh, meski ada catatan dan perkembangan itu, Dragon Lady masih terus disayang. Usia pakainya bahkan bisa lebih panjang ketimbang saudara mudanya sesama pesawat intai berawak, SR-71 Blackbird, yang lebih canggih dan dengan catatan yang lebih bersih. Pesawat mata-mata yang terakhir itu telah lebih dulu dimuseumkan.
U-2 Dragon Lady |
Pesawat mata-mata atau intai U-2 pertama dibangun pada 1954 oleh Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF). Dua tahun kemudian, pesawat dengan mesin tunggal ini mulai terbang melintasi Uni Soviet dan Eropa Timur di atas Terusan Suez, Mesir. Sejak saat itu, U-2 mulai dioperasikan hingga ke Asia.
Insiden ditembak jatuh terjadi pada pesawat U-2 yang dipiloti Gary Powers. Saat itu, 1960, pesawat sedang mengambil foto udara di wilayah Uni Soviet. AS sempat mengelak dengan mengatakan bahwa pesawat tersebut merupakan pesawat penelitian cuaca.
Pernyataan tersebut tidak diterima Uni Soviet yang kemudian merilis foto pilot U-2 beserta peralatan spionase di pesawat tersebut. Tidak sampai disitu, berselang dua tahun kemudian, Uni Soviet kembali menembak jatuh U-2, kali ini di wilayah Kuba.
Sejak insiden tersebut, militer Amerika mulai meragukan kemampuan Lady Dragon dalam melaksanakan misi pengintaian. Mereka juga mulai menyadari U-2 yang dapat terbang lebih dari 70 ribu kaki tidak cukup untuk bertahan dari rudal musuh begitu tertangkap radar.
CIA kemudian mengembangkan teknologi pesawat yang sulit dideteksi radar. Beberapa hasil dari proyek tersebut antara lain Lockheed A-12 dan SR-71 Blackbird yang mampu terbang lebih tinggi dengan kecepatan lebih superior pula.
Meski begitu, militer Amerika Serikat masih mengandalkan pesawat U-2 dalam beberapa misi meskipun hanya di daerah tertentu. Pada 1966, terdapat rekomendasi yang menyebutkan U-2 hanya bisa dikirim ke wilayah yang tidak memiliki rudal kendali udara, itu pun dengan persetujuan bagian pertahanan. Hal ini diperkuat dengan proposal yang dikeluarkan Badan Pengintaian Nasional Amerika (NRO) mengenai rencana pemantauan perbatasan China-Vietnam.
Satu di antara alasan pesawat ini masih dipertahankan ialah biaya operasional yang lebih murah ketimbang Lockheed A-12 maupun Blackbird SR-71. Dalam satu jam penerbangan, U-2 menghabiskan biaya US$ 38 ribu, hampir setengah lebih irit dibandingkan A-12 dan SR-71.
Selain itu, pilot penunggang Dragon Lady bisa membagikan data dan informasi secara langsung ke pangkalan. Ini memberi alasan lain pesawat itu masih diberi kesempatan hidup. Tercatat dalam kurun 2005 sampai 2015, Angkatan Udara AS sudah empat kali membatalkan rencana untuk memensiunkan pesawat ini.
Pilot U-2, Mayor Travis Patterson, juga menyampaikan kalau keberadaan pilot manusia memiliki keunggulan karena lebih cepat dan lebih murah ketimbang drone-drone. “Saya bisa ditempatkan di mana saja di dunia, karena saya tidak perlu memprogram wilayah terbang baru,” ujarnya.
Patterson menambahkan, varian U-2 Dragon Lady yang sekarang masih dipertahankan tidak setua yang mungkin dibayangkan di kepala banyak orang. Menurutnya, sudah banyak bagian-bagian pesawat yang dimodifikasi. “Secara signifikan U-2 yang sekarang lebih kuat daripada yang asli yang anda lihat ketika Gary Powers terbang di atas Uni Soviet,” ujar Patterson.
Sumber : https://tempo.co