Marsekal (Purn) Chappy Hakim |
Kekalahan TNI Angkatan Udara berperkara di Mahkamah Agung (MA) melawan PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) Lion Group dalam perebutan hak pengelolaan Bandara Halim Perdanakusumah sangat memukul.
Marsekal (Purn) Chappy Hakim, bekas Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) memaparkan perkara tersebut;
Memangnya benar TNI AU kalah atas ATS di Bandara Halim?
Saya perlu luruskan dulu, sampai detik ini dan sampai ke depan itu, pangkalan angkatan udara Halim itu masih berada di kekuasaan TNI Angkatan Udara Republik Indonesia. Saya tegaskan ya.
Tapi faktanya kan penerbangan komersial sudah menguasai Halim saat ini?
Penerbangan komersial, itu masih di bawah kekuasaan Angkasa Pura II. Sebagai institusi yang mendapat otoritas dari Kementerian Perhubungan, sebagai pemegang otoritas penerbangan nasional mendelegasikan kepada Angkasa Pura II untuk operasional penerbangan komersial di Bandara Halim. Jadi yang terjadi itu.
Lalu putusan MA yang memenangkan ATS itu maksudnya apa?
Jadi informasi yang beredar karena putusan MA itu, memang memberikan tafsiran yang keliru. Jadi sebenarnya kita harus melihat dari awal.
Jadi informasi yang beredar karena putusan MA itu, memang memberikan tafsiran yang keliru. Jadi sebenarnya kita harus melihat dari awal.
Lalu apa dong penyebab dari kegaduhan ini?
Penyebabnya adalah karena pengelolaan penerbangan di Indonesia yang mis-management.
Penyebabnya adalah karena pengelolaan penerbangan di Indonesia yang mis-management.
Nah, itu ceritanya bagaimana?
Pertama kali timbul masalah kecil-kecil itu pada waktu Halim dipakai sebagai Internasional Airport sementara menunggu pembangunan (Bandara Soetta) Cengkareng. Karena Kemayoran penuh saat itu untuk sementara dialihkan ke Halim. Nah di sini mulai ada masalah.
Apa Masalahnya?
Pada waktu pindah ke Cengkareng itu, Halim ternyata tetap digunakan untuk penerbangan komersial, sebagian. Yaitu untuk penerbangan charter, penerbangan general aviation, dan penerbangan haji. Karena untuk kepentingan nasional, Bandara Halim yang menjadi base empat skuadron angkut TNI AU yang membutuhkan aerodrome, runway dan seluruh fasilitas yang ada terpaksa dikorbankan, harus menyesuaikan menjadi international airport. Pada waktu itu, skuadron-skuadron di Halim pindah latihan ke Husen, Kalijati dan ke Lampung. Pada waktu itu bisa karena masih sepi, nggak apa-apa. Terus, dalam perjalanan waktu penerbangan di Halim itu tidak dikelola dengan baik.
Lalu...
Pada tahun 2010-2014 terjadilah over kapasitas di Cengkareng hampir tiga kali dari kapasitasnya. Manajemen penerbangan komersial, bukannya mencari solusi, malah cuma mencari yang mudah dengan memindahkan saja kelebihannya ke Halim. Pada waktu itulah orang pada rebutan mengelola Halim. Dari situ ada beberapa pihak yang kepengin mengelola.
Bukankah baiknya saat itu Halim langsung dikelola TNI AU saja?
Masalahnya TNI AU tidak punya cukup uang untuk mengelola. Itu alat navigasi, tower, terminal building, semua itu cost-nya tinggi. AU nggak punya anggaran untuk itu. Jadi TNI AU terpaksa memberikan fasilitas kepada penerbangan charter, Angkasa Pura dan lainnya. Karena Angkasa Pura yang memelihara alat navigasi dan sebagainya, jadi terpaksa, walaupun penerbangan operasi dan latihan AU terganggu dengan adanya penerbangan komersil itu. Sementara pemeliharaannya juga nggak beres. Itu terminal kumuh, segala macam nggak karu-karuan. Sehingga ada beberapa pihak yang kepengin mengelola itu.
Masalahnya TNI AU tidak punya cukup uang untuk mengelola. Itu alat navigasi, tower, terminal building, semua itu cost-nya tinggi. AU nggak punya anggaran untuk itu. Jadi TNI AU terpaksa memberikan fasilitas kepada penerbangan charter, Angkasa Pura dan lainnya. Karena Angkasa Pura yang memelihara alat navigasi dan sebagainya, jadi terpaksa, walaupun penerbangan operasi dan latihan AU terganggu dengan adanya penerbangan komersil itu. Sementara pemeliharaannya juga nggak beres. Itu terminal kumuh, segala macam nggak karu-karuan. Sehingga ada beberapa pihak yang kepengin mengelola itu.
Lalu TNI AU setuju?
AU senang aja, kalau ada yang mau mengelola silakan. Apalagi dengan janji akan memperbesar tempat parkir pesawat, apron dan taxy way di sana. Tentu AU setuju, supaya penerbangan operasi dan latihannya bisa lebih punya ruang gerak lagi. Saat itu salah satu pihak yang datang untuk berbisnis adalah Lion Air. Dia ingin mengelola, supaya penerbangan charter tidak terganggu oleh penerbangan AU, juga sebaliknya. Dia mau bangun taxy way dan lainnya. Ya silakan aja, tapi dia mengelola. Mengelola terminal buildingnya saja, AU setuju aja pada waktu itu, tahun 2003-2005.
Aturannya?
Pada waktu itu pihak ketiga nggak bisa. Karena menurut undang-undang nggak boleh. Yang boleh adalah Angkasa Pura II, itu sampai 2005. Tahun 2005 saya pensiun. Terus kemudian, saya nggak tahu apa yang terjadi, terjadilah sengketa dan Mahkamah Agung memenangkan Lion Air. Tapi bukan untuk pengelolaan aerodrome.
Bedanya aerodrome dengan airport itu apa sih?
Aerodrome itu airport dan fasilitasnya. Kalau airport itu cuma terminal building. Kalau aerodrome itu termasuk runway dan sebagainya. Lion Air itu nggak bisa, dia nggak punya otoritas mengelola bandara. Yang punya otoritas adalah Angkasa Pura II. Jadi yang dimenangkan MA itu adalah mengelola terminal building.
Jadi kesimpulannya yang bikin kacau itu apa?
Kesimpulannya yang bikin kacau ini adalah mismanagement penerbangan komersial di Indonesia. Tidak hanya di Halim. Di Juanda kan begitu juga, itu kan pangkalan Angkatan Laut. Sering ribut-ribut juga. Di Semarang itu pangkalan Angkatan Darat, kan sering ramai juga. Sekarang ini yang paling berbahaya adalah di Bandung.
Kenapa yang paling berbahaya di Bandung?
Di Bandung itu pangkalan Angkatan Udara, tempat pemeliharaan pesawat terbesar bagi Angkatan Udara. Runway-nya cuma satu, Apronnya juga sempit, dipakai segitu banyak penerbangan, sampai dibuka penerbangan internasional. Itu bahaya sekali. Sudah crowded setengah mati. Yang di Halim, sudah kepepet-pepet, minggir-minggir udah nggak tahu lagi mau latihan dimana anak-anak itu. Mau latihan di Bandung sudah berbahaya, di Lampung sudah padat, itu sebabnya kemungkinan besar, tapi saya nggak yakin karena saya sudah pensiun, jadi dia (AU) cari saja kalau ada orang yang mau membangun Taxy way, tempat parkir, lalu kompensasinya dia mengelola terminal building, ya dia silakan saja. Jadi mereka punya juga ruang latihan, untuk operasi. Gitu lho.
Sumber : http://www.rmol.co/read/2016/03/18/239905/Marsekal-(Purn)-Chappy-Hakim:-Dipepet,-TNI-AU-Bingung-Mau-Latihan-Di-Mana-&sa=U