Ryamizard Ryacudu |
Wacana pembentukan badan intelijen pertahanan di bawah Kementerian Pertahanan yang dilontarkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memunculkan pro dan kontra.
Peneliti dari Pusat Kajian Keamanan Migrasi dan Perbatasan, Mufti Makaarim, mengatakan, wacana itu bukan konsep baru.
Ia menilai, wacana ini menunjukkan adanya persoalan koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan TNI.
Pasalnya, fungsi intelijen pertahanan saat ini sudah dipegang oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang berada di bawah TNI.
Bahkan, kata Mufti, saat ini terdapat dualitas fungsi BAIS yakni di ranah strategis dan operasional.
"Saya melihat ada kontestasi ketika Menhan tidak bisa mengakses atau meminta informasi dari BAIS di bawah TNI. Ini ada persoalan koordinasi antara Menhan dan TNI," ujar Mufti, saat memberikan keterangan di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (13/6/2016).
Mufti mengatakan, seharusnya Menhan bisa memahami bahwa fungsi intelijen pertahanan strategis yang saat ini berada di BAIS bisa diambil alih di bawah Kementerian Pertahanan tanpa perlu membentuk badan intelijen baru.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, rencana Menhan tersebut tak efisien untuk menata kembali reformasi di bidang intelijen.
Menurut dia,persoalan reformasi intelijen seharusnya diselesaikan secara komprehensif, yakni dengan meletakkan fungsi dan peran lembaga intelijen yang sudah ada dalam kompartemensi yang jelas.
Pada banyak negara, fungsi intelijen dibagi dalam kompartemen dan spesialisasi yang jelas.
Ia mencontohkan, Inggris memiliki MI6 untuk menghadapi acaman luar negeri, sedangkan urusan intelijen dalam negeri diserahkan kepada MI5.
"Bila Kemhan bentuk badan intelijen baru dan BAIS (Badan Intelijen Strategis) tetap berada di bawah TNI maka tidak akan efisien. Jadinya akan tumpang tindih lagi fungsinya," ujar Araf.
Ia menyebutkan, pemerintah seharusnya segera melakukan reformasi di bidang intelijen, salah satunya dengan mereposisi Badan Intelijen Strategis di bawah Kementerian Pertahanan.
Menurut Araf, BAIS seharusnya berada di bawah Kemhan, bukan TNI, karena merupakan lembaga intelijen yang memiliki peran menyuplai analisis-analisis di isu-isu strategis.
Sementara, TNI cukup menjalankan fungsi intelijen teritorial dan intelijen tempur yang saat ini ada di setiap batalyon.
Menhan : Di Seluruh Dunia Ada Intelijen Kemenhan, Cuma di Indonesia yang Enggak Ada
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, keberadaan intelijen di tubuh Kementerian Pertahanan (Kemhan) merupakan hal yang wajar.
Menurut dia, hal yang sama juga ada di sejumlah negara.
"Coba kamu keliling dunia tanya ada intelijen enggak di Kemhan-nya? Pasti ada. Cuma di sini yang tidak ada. Ini kan lucu," kata Ryamizard, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/6/2016).
Ia menjelaskan, mereka yang menjadi intelien di Kemhan tak harus berasal dari TNI. Kemhan akan melakukan rekrutmen untuk menjaring pegawai di lembaga intelijen.
"Kalau TNI tidak mau diambil ya tidak apa-apa, kalau mau juga tidak apa-apa. Sebab kan TNI harus ada intelijen juga," papar Ryamizard.
Ia menyebutkan, di negara-negara besar, intelijen terdiri dari intelijen luar negeri, dalam negeri, pertahanan, dan hukum.
Ryamizard membantah jika intelijen saat ini belum efektif. Lembaga intelijen di bawah Kemhan, kata dia, murni untuk mengoptimalkan kinerja kementeriannya.
"Jadi kalau di kami intelijennya bersifat strategis, kalau di TNI operasional. Jadi saat ada ancaman, TNI yang menangani, itu yang dimaksud operasional," ujar Ryamizard.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan pengadaan lembaga intelijen di bawah Kemhan menyalahi undang-undang (UU) TNI dan Pertahanan Negara.
Alasannya, fungsi intelijen di Kemhan saat ini sudah ditangani oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang berada di bawah kendali TNI.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2016/06/13/22281851/wacana.intelijen.pertahanan.indikasikan.ada.masalah.antara.kemenhan.dan.tni