Peradi : TNI Tak Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Terorisme - Radar Militer

11 Juli 2016

Peradi : TNI Tak Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Terorisme

Pasukan Anti Teror TNI
Pasukan Anti Teror TNI

Sekreraris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sugeng Teguh Santoso menilai TNI tak perlu dilibatkan dalam penanggulangan terorisme.
Pernyataan tersebut diungkapkannya terkait usulan pelibatan TNI dalam Pasal 43b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sugeng menilai bahwa institusi Kepolisian mampu menanggulangi terorisme tanpa harus melibatkan peran TNI.
"Polisi mampu menangani kejahatan ekstraordinary," kata Sugeng seusai konferensi pers di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/7/2016).
Sugeng menambahkan, prinsip penegakan hukum adalah hukum sipil, dimana hukum sipil tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sehingga pelibatan TNI akan bertentangan dengan prinsip hukum sipil.
"Di sana dikatakan bahwa hukum dijalankan oleh kepolisian. Tidak disebut militer. Jadi sebaiknya, tidak boleh militer masuk ke wilayah penegakan hukum," tutur Sugeng.
Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
Sementara itu, ayat (2) menyatakan peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Polri.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal P Badrodin Haiti menganggap pelibatan TNI dalam berbagai operasi pemberantasan terorisme merupakan hal yang wajar. Selama ini, Polri terkadang meminta bantuan TNI untuk menangkap kelompok teroris, misalnya dalam operasi Tinombala yang memburu kelompok Santoso ke pegunungan di Poso.
Namun, kata Badrodin, mustahil jika TNI terlibat sebagai instansi tersendiri dalam pemberantasan terorisme. Bagimanapun, teroris yang ditangkap akan diproses secara hukum. Sementara proses hukum hanya dilakukan oleh Polri.
"Semua penindakan yang dilakukan harus dibawa ke pengadilan. Saya tidak paham kalau nanti TNI bisa melakukan sendiri, siapa yang memproses hukum?" kata Badrodin.
Oleh karena itu, Badrodin menganggap perlunya ada kajian bersama untuk memperjelas poin yang tertera dan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengusulkan agar pasal tersebut dihapus karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Al Araf menambahkan, ada tiga model penanganan terorisme di berbagai negara, yaitu war model, criminal justice system dan internal security model. Ia melihat, dalam revisi tersebut ada upaya menggeser dari model penegakkan hukum menjadi model perang.
Adapun Wakil Ketua Panitia Khusus revisi UU Antiterorisme Hanafi Rais menuturkan, DPR perlu melakukan sinkronisasi draf usulan pemerintah tersebut dengan UU lain.
Sinkronisasi perlu dilakukan terutama dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang memang menyebutkan bahwa TNI dipersilakan menyelesaikan masalah aksi terorisme dan gerakan separatisme bersenjata.
Hanafi menambahkan, pihaknya ingin mensinkronkan agar TNI tak hanya terlibat sendirian. "Jadi ada syarat-syarat yang harus terpenuhi, apabila misal teroris sudah sifatnya makar. Tentu keterlibatan TNI menjadi relevan," kata politisi PAN itu.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2016/07/10/16330461/peradi.anggap.tni.tak.perlu.dilibatkan.dalam.penanggulangan.terorisme

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb