M551 Sheridan |
Seiring dengan berakhirnya keterlibatan AS dalam perang asimetris di Irak dan Afghanistan, Angkatan Darat (AD) AS mulai merekalkulasi postur mereka yang tadinya berfokus kepada pasukan khusus dan infantri.
Paham bahwa ancaman flashpoint berikutnya akan datang dari sang naga Timur, AD AS mulai memformulasikan kebutuhan akan pasukan reaksi cepat (rapid reaction force) yang mampu digerakkan kemanapun, kurang lebih seperti kemampuan yang dipelihara oleh Angkatan Bersenjata AS pada dekade 1980an dan 1990an.
Resep dari pasukan reaksi cepat adalah meminimalkan profilnya seringan mungkin, tetapi memaksimalkan daya gebuknya agar mampu bertahan dan menusuk garis pertahanan lawan sebelum pasukan konvensional yang lebih besar bisa menyusul dan memperkuat pasukan gelombang pertama ini.
Uni Soviet dan Rusia sudah sejak lama memelihara kemampuan ini. Amerika Serikat tidak pernah benar-benar menemukan formula yang pas karena kagok dan ingin terlalu banyak.
AD AS tidak pernah bisa menerima bahwa pasukan dengan tipikal airmobile ya memang harus berani mati dan spartan, hidup dengan dukungan minimal tetapi hasil maksimal.
Satu hal yang AD AS selalu gagal lakukan adalah menggelar tank ringan atau tank lintas udara (linud) untuk pasukan payungnya.
AS tercatat pernah menggunakan tank ringan M551 Sheridan untuk 82nd Airborne (Abn) Division, yang dikenal kompleks karena sistem rudal Shilelagh yang diusungnya.
Upaya AD AS untuk menelurkan penerus Sheridan gagal dengan M8 Armored Gun System yang batal diadopsi.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan konsep tank ringan, AD AS nampaknya kembali melirik alutsista yang satu ini.
Pada akhir bulan Agustus 2016, AD AS memanggil sejumlah pabrikan untuk menjelaskan konsep MPF (Mobility Protected Firepower).
Konsep ini dijabarkan sebagai “kendaraan tempur ringan yang menyediakan kemampuan tembakan langsung jarak jauh bagi IBCT (Infantry Brigade Combat Team) yang menjamin kebebasan gerak dan aksi dalam manuver ekspedisioner gabungan dan operasi antar kecabangan.
Pendeknya, AD AS ingin tank ringan dengan daya gempur besar, dalam hal ini mengusung kanon 120mm.
AD AS menganggarkan US$9,7 juta pada 2017 untuk melakukan studi awal atas kelayakan konsep ini. Sejauh ini ada 2 pabrikan yang sudah siap menunjukkan purwarupa produk mereka: British Aerospace Land Systems dan GDLS (General Dynamics Land Systems).
GDLS adalah pabrikan yang harus all out menyongsong peluang. MBT M1A2 Abrams dengan cepat menguap ordernya, meninggalkan Lima Tank Plant milik GDLS tanpa pesanan yang mengancam lini produksi dan pundi-pundi perusahaan.
Walaupun MPF belum nampak jelas benar spesifikasinya, GDLS menawarkan solusi dalam bentuk tank ringan berkode Griffin.
Jargon andalan GDLS adalah teknologi Abrams dalam format yang kompak dan ringan, hanya 28 ton yang merupakan batas atas bobot kargo yang bisa diterjunkan dengan palet dan sistem parasut kargo LAPES.
Sumber : http://www.tribunnews.com/iptek/2016/10/16/ini-alasan-angkatan-darat-amerika-mulai-berpikir-gunakan-tank-ringan?page=3
Paham bahwa ancaman flashpoint berikutnya akan datang dari sang naga Timur, AD AS mulai memformulasikan kebutuhan akan pasukan reaksi cepat (rapid reaction force) yang mampu digerakkan kemanapun, kurang lebih seperti kemampuan yang dipelihara oleh Angkatan Bersenjata AS pada dekade 1980an dan 1990an.
Resep dari pasukan reaksi cepat adalah meminimalkan profilnya seringan mungkin, tetapi memaksimalkan daya gebuknya agar mampu bertahan dan menusuk garis pertahanan lawan sebelum pasukan konvensional yang lebih besar bisa menyusul dan memperkuat pasukan gelombang pertama ini.
Uni Soviet dan Rusia sudah sejak lama memelihara kemampuan ini. Amerika Serikat tidak pernah benar-benar menemukan formula yang pas karena kagok dan ingin terlalu banyak.
AD AS tidak pernah bisa menerima bahwa pasukan dengan tipikal airmobile ya memang harus berani mati dan spartan, hidup dengan dukungan minimal tetapi hasil maksimal.
Satu hal yang AD AS selalu gagal lakukan adalah menggelar tank ringan atau tank lintas udara (linud) untuk pasukan payungnya.
AS tercatat pernah menggunakan tank ringan M551 Sheridan untuk 82nd Airborne (Abn) Division, yang dikenal kompleks karena sistem rudal Shilelagh yang diusungnya.
Upaya AD AS untuk menelurkan penerus Sheridan gagal dengan M8 Armored Gun System yang batal diadopsi.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan konsep tank ringan, AD AS nampaknya kembali melirik alutsista yang satu ini.
Pada akhir bulan Agustus 2016, AD AS memanggil sejumlah pabrikan untuk menjelaskan konsep MPF (Mobility Protected Firepower).
Konsep ini dijabarkan sebagai “kendaraan tempur ringan yang menyediakan kemampuan tembakan langsung jarak jauh bagi IBCT (Infantry Brigade Combat Team) yang menjamin kebebasan gerak dan aksi dalam manuver ekspedisioner gabungan dan operasi antar kecabangan.
Pendeknya, AD AS ingin tank ringan dengan daya gempur besar, dalam hal ini mengusung kanon 120mm.
AD AS menganggarkan US$9,7 juta pada 2017 untuk melakukan studi awal atas kelayakan konsep ini. Sejauh ini ada 2 pabrikan yang sudah siap menunjukkan purwarupa produk mereka: British Aerospace Land Systems dan GDLS (General Dynamics Land Systems).
GDLS adalah pabrikan yang harus all out menyongsong peluang. MBT M1A2 Abrams dengan cepat menguap ordernya, meninggalkan Lima Tank Plant milik GDLS tanpa pesanan yang mengancam lini produksi dan pundi-pundi perusahaan.
Walaupun MPF belum nampak jelas benar spesifikasinya, GDLS menawarkan solusi dalam bentuk tank ringan berkode Griffin.
Jargon andalan GDLS adalah teknologi Abrams dalam format yang kompak dan ringan, hanya 28 ton yang merupakan batas atas bobot kargo yang bisa diterjunkan dengan palet dan sistem parasut kargo LAPES.
Sumber : http://www.tribunnews.com/iptek/2016/10/16/ini-alasan-angkatan-darat-amerika-mulai-berpikir-gunakan-tank-ringan?page=3