'Samurai' Sayuto, Jagal Jepang di Pertempuran Lima Hari Semarang - Radar Militer

20 Oktober 2016

'Samurai' Sayuto, Jagal Jepang di Pertempuran Lima Hari Semarang

Samurai Katana Milik Sayuto
Samurai Katana Milik Sayuto

Nama Sayuto pada masa Pertempuran 5 Hari Semarang (14-18 Oktober 1945) cukup dikenal sebagai pejuang gagah berani dalam menghadapi tentara Kidobutai Jepang. Sayuto bahkan menjadi sosok yang disegani sekaligus ditakuti sesama pejuang maupun para tentara Jepang. Kala itu dia sangat dikenal sebagai jagal manusia yang menyasar orang-orang Jepang.
Dituturkan oleh Huri (90) sahabat sekaligus pengawal Sayuto pada saat berjuang dengan mendirikan kelompok Jagal Jepang beranggotakan 20 mantan PETA dan Heiho pada awal meletus Pertempuran 5 Hari Semarang. Huri mengenal Sayuto saat membersihkan korban kebiadaban Jepang di Lawang Sewu.
“Diantara puluhan jiwa pemuda yang gugur karena serbuan dan siksaan bala tentara Jepang, ada satu orang yang saya temukan masih ada nafasnya. Dia lah yang kemudian saya kenal Sayuto,” ungkapnya kepada KRjogja.com, Rabu (19/10/2016).
Huri kemudian menyeret Sayuto bersama dua rekan ke Sungai Pekunden yang sudah berwarna merah karena dialiri darah pemuda. Setelah wajahnya terkena air Sayuto segera siuman dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat.
“Suatu keanehan, keesokan harinya saya bertemu kembali di depan Asrama Pelayaran dan mulai memimpin pasukan bekas PETA untuk mengamankan kembali Asrama Pelayaran pasca pemberontakan tawanan Jepang yang berakibat terbunuhnya 4 Polisi Istimewa yang menjaganya,” kisah Huri Prasetyo.
Huri menceritakan, perubahan sikap Sayuto menjadi garang tatkala mendengar kabar adanya dua pemuda dipenggal lehernya oleh pasukan Kidobutai di sekitar Pasar Jatingaleh. Saat itu Sayuto geram dan langsung mengumpulkan para bekas anggota PETA dan Heiho.
“Hanya saya sendiri yang bukan anggota PETA atau Heiho, melainkan anggota Angkatan Muda Pati. Saya ditunjuk sebagai wakilnya, setelah berhasil mengumpulkan 20 personil, maka kami melakukan pencegatan dan mencari orang-orang Jepang,” unkapnya.
Pasukan ini pertama menemukan orang Jepang di Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda). Di sebuah toko kaca, Sayuto memanggil orang tersebut dengan bahasa Jepang. “Orang itu lalu keluar sambil merangkak dan kakinya langsung ditebas pedang hingga putus dan bergerak-gerak seperti ekor cicak yang tanggal. Baru kami beramai-ramai menembakinya sampai tewas,” kisah Huri.
Sikap keji tersebut diakui Huri muncul secara spontanitas karena merasakan teror yang dilakukan tentara Jepang saat itu sangat keterlaluan. Teror pertama adalah isu peracunan Tandon Air Minum Wungkal, saat itu Jepang memang mendatangi dan menyiksa serta menembak mati 2 Polisi Istimewa yang menjaga tandon tersebut.
Teror lain Jepang menangkapi pemuda dan menyembelihnya di sungai-sungai yang ada di pusat kota sehingga pada waktu itu seluruh aliran sungai memerah karena darah pejuang yang dihabisi Jepang. Tak hanya itu kepala-kepala mereka yang dipenggal juga diceburkan di sungai, sehingga sungai tersebut dipenuhi tubuh manusia.
Saat berkecamuk perang tersebut Sayuto tampil meneror Jepang dengan tindakan yang sama-sama keji. Pada saat penyerbuan Penjara Mlaten yang masih dikuasai Jepang, 17 Oktober 1945 Sayuto berhasil menangkap dan memenggal kepala 4 tentara Kidobutai di sana.
Jepang tersebut mau saja dibawa keluar Sayuto yang saat itu mengenakan seragam PETA yang mirip dengan seragam mereka lengkap dengan menenteng pedang ‘samurai’. Setelah bercakap-cakap dengan bahasa Jepang, keempat tentara Jepang itu akhirnya menyerah dan dibawa ke halaman Gedung Kesenian Sobokarti lalu ditebas pedang.
Tak cukup itu, tubuh tentara Jepang yang sudah tak berkepala tersebut didekap dan dibiarkan darah yang mengucur dari lehernya membasahi muka Sayuto. "Saat itu Sayuto seperti menunjukkan kebanggaannya sambil tertawa keras-keras dan lantang,” kenang Huri.
Sejak itu Sayuto dan pasukannya sangat ditakuti dan diperhitungkan. Dalam pertempuran di wilayah Penjara Mlaten, Kampung Batik dan Sayangan, Jepang kewalahan menghadapi pemuda. Meski diakui banyak pejuang yang gugur, namun pemuda datang silih berganti dari luar daerah membantu mempertahankan wilayah tersebut dari penguasaan Jepang. Hingga hampir seluruh Kampung Batik saat itu hangus ludes terbakar karena dibombardir Jepang.
Kini pedang Katana yang menjadi senjata perjuangan Sayuto masih disimpan oleh Huri. Sejak Jepang menyerahkan kekuasaan pada Sekutu, Sayuto berada di perbatasan Semarang-Demak, sektor Banyumeneng Mranggen.
Menghadapi kembalinya tentara Belanda, kemudiam membuat 20 anggota Jagal Jepang terpecah di berbagai sektor perjuangan. Sayuto akhirnya menyerahkan pedangnya kepada Huri sebagai kenangan dan balas jasa karena pernah menyelamatkan jiwanya saat usai disiksa Jepang di Lawang Sewu.
"Ketika melihat dan menimang ‘samurai’ (pedang Katana) tersebut, saya selalu terkenang keberanian Sayuto. Dia orang yang disegani oleh para pejuang dan paling ditakuti musuh," ungkap Huri.
Sayuto meninggal dunia di usia 85 tahun pada 3 Juni 2007. Jenasahnya dimakamkan di TPU Ketileng berdekatan dengan rumahnya di Perumahan Ketileng Blok M Semarang. (Cha)
Sumber : http://krjogja.com/web/news/read/13163/Samurai_Sayuto_Penggal_Ratusan_Tentara_Jepang

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb