Adolf Lembong |
Sejarah perjuangan bangsa sarat kisah-kisah heroik tentang perang gerilya. Sudah tentu yang paling dikenal adalah cerita gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman
Kisah yang lainnya dan cukup dikenal adalah Jenderal Abdoel Haris Nasution yang menerbitkan buku ‘Pokok-Pokok Gerilya’. Buku fenomenal ini jadi satu di antara beberapa faktor yang memenangkan Vietkong atas Amerika Serikat di Perang Vietnam.
Namun sebelum Jenderal Soedirman bergerilya atau AH Nasution bikin buku tentang gerilya, sudah ada putra nusantara yang mengenyam asam-garam gerilya di “teater” Perang Dunia II di Pasifik yakni Adolf Gustaaf Lembong.
Sejauh ini nama Letkol Adolf Lembong lebih dikenal sebagai salah satu korban pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Raymond Westerling di Bandung, Jawa Barat, pada 22–23 Januari 1950.
Nama putra Minahasa itu juga diabadikan jadi nama jalan di Kota Bandung yang tak jauh dari Museum Mandala Wangsit yang dulunya, jadi Kantor Staf Kwartier Divisi IV Siliwangi yang turut diserang gerombolan APRA.
Dinukil dari buku ‘Pribumi Jadi Letnan KNIL’, Petrik Matanasi mengutip pernyataan Ventje Sumual, salah satu petarung republik asal Minahasa lainnya, tentang koleganya yang pernah diperebutkan antara TNI dan KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indisch Leger/Pasukan Kerajaan Hindia Belanda).
“Lembong ini perwira muda KNIL dulu. Pernah belajar ke Amerika (Serikat). Pangkatnya kapten dalam pasukan sekutu dan berpengalaman sebagai gerilya yang bertempur di Filipina. Ia lari dari KNIL, masuk laskar kita (KRIS/Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi),”
Kabur Kamp Jepang, Bergerilya di Negeri Pinoy
Ya, diakui pengalamannya di belantara gerilya bukan sembarangan. Saat masih jadi opsir muda KNIL yang bertugas sebagai operator radio, perwira kelahiran 19 Oktober 1910 itu sempat ditawan Jepang di masa Perang Pasifik dan dijadikan budak serdadu Dai Nippon di Filipina.
Saat berada di Luzon, Lembong dan beberapa eks KNIL asal Minahasa lainnya melarikan diri dari kamp, hingga memilih ikut gabung dengan para gerilyawan Filipina pribumi maupun asal Amerika.
Dalam perjalanan gerilyanya bersama Alexander Rawoeng, Jan Pelle, Marcus Taroreh, Marthin Sulu, Alexander Kewas, Albert Mondong, Hendrik Terok, Andries Pacasi, dan William Tantang, Lembong beberapa kali melakukan aksi raid alias memukul lawan secara tiba-tiba.
Dalam kerjasamanya bersama gerilyawan Filipina dan seorang tentara Amerika Kapten Robert Lapham, Lembong dipercaya memimpin Squadran 270 yang terdiri dari para kolega Minahasanya dan beberapa gerilyawan lokal Filipina.
Tercatat pada 6 Januari 1945 jelang kejatuhan Jepang, mereka sukses merebut sebuah gudang makanan dan peralatan Jepang. Sehari berselang, 10 orang anggotanya menyergap beberapa truk untuk membinasakan 27 tentara Jepang tanpa kerugian luka maupun korban tewas di pihak Squadran 270.
Di Filipina itu juga, Lembong bertemu pujaan hatinya. Asuncion Angel dinikahinya saat masih bergerilya pada 26 Oktober 1944 dan bahkan ikut bersama Lembong kembali ke Indonesia, saat Perang Pasifik rampung.
Masa Revolusi hingga Tewas di Kudeta APRA
Lembong memilih ikut pergerakan perjuangan pada Juli 1947 bersama KRIS. Setahun kemudian, Lembong yang sudah menjabat Komandan Brigade XVI sempat ditangkap Belanda kala Agresi Militer II 19 Desember 1948.
Pasca-penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia 27 Desember 1949, Lembong ditugaskan sebagai Kabag Pendidikan Angkatan Darat.
Dalam sebuah misi tugas ke Bandung menemui perwira Siliwangi, Lembong justru ikut jadi korban pembantaian pasukan APRA pada 23 Januari 1950.
Sumber : http://news.okezone.com/read/2017/01/20/337/1596833/news-story-adolf-lembong-putra-minahasa-di-belantara-gerilya-filipina