Pesawat Tempur MiG-21 di ITB, Ternyata Baru Terbang 10 Jam! - Radar Militer

31 Mei 2017

Pesawat Tempur MiG-21 di ITB, Ternyata Baru Terbang 10 Jam!

Pesawat Tempur MiG-21  2158
Pesawat Tempur MiG-21  2158 

Dirancang untuk membunuh pembom B-52, MiG-21 ternyata juga sanggup menumbangkan F-4 Phantom II.
Meski kedigdayaannya telah padam setengah abad lalu, legenda MiG-21 masih hidup sampai sekarang. Tidak hanya di berbagai negara, tapi juga di Indonesia. Para pengagumnya tak hanya memburu kisah-kisah pertempurannya, tapi juga cerita dari jet-jet ini yang “masuk” laboratorium untuk dipelajari keunggulannya.
Seperti juga dilakukan di Amerika, enjinir Indonesia diam-diam ikut membedah kekhasan maupun keunggulannya. Setidaknya hal inilah yang dicatat penulis setelah beberapa kali berkunjung ke Laboratorium Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, ITB, Bandung, Jawa Barat.
Di sana mukim satu unit MiG-21 yang pernah memperkuat AURI (kini TNI AU) yang khusus dibeli untuk mengusir Belanda dari Irian Barat. Pencegat bernomor 2158 ini dihibahkan pada 1973 khusus untuk didedikasikan sebagai alat peraga dalam berbagai mata kuliah di FTMD. Bagi penulis (dari Angkasa), ada satu fakta yang amat mengejutkan dari warisan berharga ini . “Pesawat ini baru dipakai terbang 10 jam!” Demikian tertulis dalam Buku Emas 50 Tahun Program Aeronautika/Astronautika ITB (2012).
Kenapa AURI menghibahkannya kepada ITB? Langkah ini rupanya diambil untuk mengapresiasi perjuangan Dr. Ir. Oetarjo Diran dan Dr. Ken Liem Laheru yang begitu gigih mendirikan Pendidikan Teknik Penerbangan di ITB (kini Jurusan Teknik Penerbangan di FTMD). Demi memajukan Indonesia, mereka sampai-sampai meninggalkan jabatan bergensinya di Jerman.
Jet yang satu ini amat ditakuti Barat. Tak ayal keberadaannya pun sangat dieman-eman. “Bagaimana tidak? Jika Departemen Pertahanan AS saja harus susah payah ingin mencurinya, masak pemberian yang amat berharga ini kami sia-siakan?” ujar sumber penulis.
Sayangnya, ketika itu ITB belum punya tempat yang dianggap cocok. Sehingga untuk sementara waktu terpaksa ngendon di hanggar Lipnur (kini PT Dirgantara Indonesia). Di sana, supersonik sayap delta ini selanjutnya di antaranya dirawat oleh Prof. Dr. Harijono Djojodihardjo dan Dr. Said D. Jenie, dosen teknik penerbangan lulusan Massachussetts Institute of Technology, AS.
Keunggulan dan kelemahan
Kala itu kisah keunggulan MiG-21 beranjak mendunia. Itu karena jet yang sejatinya dirancang Mikoyan-Gurevich, Rusia, untuk membunuh pembom strategis andalan AS, B-52 Stratofortress ini, ternyata juga mampu membabat jet unggulan AS seperti F-4 Phantom II, F-104 Starfighter dan F-105 Thunderchief. Puluhan jet-jet ini rontok di medan pertempuran Timur Tengah dan Vietnam.
“MiG-21 sangat sulit diantisipasi. Bahkan meski kemunculannya datang dari depan. Ia baru tampak dalam jarak dua mil, namun sudah dalam jarak yang sangat mematikan,” aku seorang penerbang F-4 Phantom II AU AS yang pernah berhadapan dengan jet ini di ajang Perang Vietnam.
Hal inilah yang memancing ilmuwan AS untuk bisa membedah keunggulan sekaligus kelemahannya. Dari sejumlah dokumen yang kerahasiannya telah dibuka, akhirnya terungkap AS pernah “mencuri” beberapa untuk dipelajari dalam program berkode Have Drill, Have Doughnut, dan Have Ferry. Pesawat bahkan pernah dilawantandingkan dengan jet-jet AS di Area 51, laboratorium AU AS yang amat dirahasiakan di Gurun Nevada.
Dari program-program itu, akhirnya kelemahan sang legenda terbongkar. Salah satunya diantaranya ada pada celah bidik sasaran atau gunsight. Meski musuh sudah masuk dalam gunsight, penerbangnya tak serta-merta bisa mebidiknya dengan jelas. Bayangan di gunsight bahkan sering tiba-tiba menghilang. Dalam doghfight jarak dekat, kestabilannya juga sering terganggu. Hal inilah yang membuat penerbangnya harus kerja keras “memasukkan” kembali musuhnya dalam garis bidik.
Di FTMD sendiri, MiG-21 berkode 2158 ini baru benar-benar berfungsi setelah pihak ITB berhasil menyiapkan sebuah laboratorium yang cukup nyaman pada 1998. Di bodi samping pesawat yang telah dicat ulang, selanjutnya ditulis: Iron Bird untuk sistem dasar pesawat udara, yang mencakup sistem kendali hidro-mekanikal, sistem elektrik, sistem roda pendarat, sistem propulsi dan sistem avionika.
“Teknologinya memang sudah berumur, namun tetap layak untuk jadi alat peraga bagi keilmuan aeronotika yang diberikan mulai dari tingkat pertama hingga terakhir. Keilmuan ini mencakup mekanika, termodinamika, aerodinamika, kinematika hingga teknik perancangan pesawat,” ujar Kepala Program Studi Aeronotika/Astronotika, Dr. Ir. Toto Indriyanto kepada penulis, pertengahan Mei 2017 di Bandung.
Inlet cone
Bagi penulis sendiri, tak lengkap kiranya jika tak melengkapi kisahnya dengan pengakuan penerbang AURI atas pesawat yang mampu melesat lebih dari dua kali kecepatan suara ini. Mereka sepakat menyebutnya jet pemburu paling mutakhir di zamannya.
“Kemudinya sangat sensitif dan pesawat ini terbang lebih cepat dari yang saya perkirakan. Tapi, lama terbangnya, walau dengan drop tank, amat singkat. Cuma 1 jam 40 menit. Dengan begitu kita harus tahu bagaimana trik menerbangkannya,” ungkap Marsda (Pur) Roesman, sesepuh AURI yang pernah dipercaya jadi komandan skadron pencegat sayap delta ini.
selanjutnya juga terlihat di moncong mesin SR-71 Blackbird.
“Terbang lurus-lurus saja, tidak perlu belok kiri-kanan, daripada tidak bisa pulang. Untuk itu kita memang harus bisa lebih dulu menghitung di titik mana pesawat musuh yang akan dicegat,” tambahnya tentang trik itu kepada Angkasa.
Indonesia mendatangkan jet-jet ini pada 1962, sebagai bekal untuk menghadapi kekuatan militer Belanda dalam kampanye Trikora. Ketika itu bersama rombongan pembom Tu-16 serta MiG-15, MiG-17 dan MiG-19, pemerintah membeli 22 unit dari tipe MiG-21 F-13 dan MiG-21U. Namun, pesawat-pesawat ini tak pernah benar-benar turun berperang karena Belanda akhirnya bersedia mundur setelah didesak oleh PBB.
Lalu, adakah keunggulan MiG-21 yang kemudian diadopsi pesawat-pesawat berikutnya? Ada, bahkan tak sekadar pesawat, tetapi juga rudal. Kelebihan dimaksud adalah inlet cone yang bentuknya amat khas. Kerucut metal di cerobong masukan udara ini rupanya tidak dibuat untuk memperindah sosoknya, melainkan memang ada maksudnya.
Inlet cone bisa digerakkan maju-mundur tak lain untuk menyetel kecepatan mesin, terutama saat kecepatannya menembus Mach 1. Hal ini dimungkinkan karena maju-mundur inlet cone akan menentukan besar kecilnya pasokan udara ke ruang pembakaran mesin. Inlet cone selanjutnya diterapkan pada pesawat jet dan rudal supersonik, seperti SR-71 Blackbird dan P-800 Oniks/Yakhont.
Nah, ketika sejumlah staf pengajar FTMD ikut dilibatkan dalam proyek KFX/IFX dengan Korea Selatan, mestinya ada pula seuntai transfer teknologi dari sang legenda yang ikut terbawa dalam perancangan jet tempur masa depan Indonesia-Korea Selatan ini. Walau terkesan samar, sudahlah jelas bahwa mereka adalah ilmuwan yang pernah berkutat di laboratorium FTMD. Adrianus Darmawan

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb