Panglima TNI |
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo belum mau berkomentar soal wacana keterlibatan aktif TNI di dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.
Sebabnya, Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, belum rampung dibahas di DPR RI.
Dia akan berkomentar jika RUU itu selesai dibahas.
"Saya tidak mau berandai-andai. Hukumnya saja belum jelas kok," ujar Gatot di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).
Namun, Gatot mengakui bahwa UU Anti-Terorisme yang hendak direvisi itu memang sudah tidak relevan lagi.
"Saya katakan, alangkah bodohnya bangsa ini kalau masih menggunakan undang-undang (Anti-Terorisme) yang sekarang ini," ujar dia.
Gatot menjelaskan secara historis, UU Anti-Terorisme yang berlaku saat ini, dibuat dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan perkara bom Bali.
Oleh sebab itu, fokus UU Anti-Terorisme ini adalah penindakan.
Namun kini, Gatot mengatakan bahwa dunia terorisme berkembang pesat. Indonesia perlu memperbaharui Anti-UU Terorismenya.
"Kalau kita masih menggunakan UU seperti itu, ya kita tinggal tunggu saja teroris akan berpesta di sini karena tempat paling aman di sini," ujar Gatot.
"Kalau kita ingin aman, ingin anak cucu kita aman, ya harus benar-benar. ingat, teroris adalah kejahatan negara," lanjut dia.
Presiden Joko Widodo ingin unsur TNI dapat terlibat dalam praktik antiterorisme. Presiden pun meminta hal itu dimasukan ke dalam RUU Anti-Terorisme yang hingga kini masih dibahas di DPR RI.
"Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja dengan alasan-alasan yang saya kira dari Menko Polhukam sudah mempersiapkan," ujar Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (28/5/2017).
Jokowi sekaligus meminta Menko Polhukam Wiranto mengejar DPR untuk perampungan RUU tersebut.
"Saya ingin agar RUU Antiterorisme ini segera dikejar ke DPR. Ini Pak Menko Polhukam agar bisa segera diselesaikan secepat-cepatnya. Karena ini sangat kita perlukan dalam rangka payung hukum untuk memudahkan, untuk memperkuat aparat kita bertindak di lapangan," ujar Jokowi.
"Teroris Terlalu Kecil untuk Berhadapan dengan TNI AD"
Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Alfret Denny Tuejeh mengatakan, TNI AD siap jika memang dilibatkan dalam penanganan teroris.
Menurut dia, kesiapan TNI AD tidak hanya dari aspek sumber daya manusia, tetapi juga pada aspek persenjataan.
"Kami sangat-sangat siap. Kalau dari segi senjata, teroris itu terlalu kecil untuk berhadapan dengan TNI AD," ujar Alfret di Media Center TNI AD, Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2017).
Menurut Alfret, kelompok teroris di Indonesia berbeda dengan teroris yang ada di Filipina.
Sebab, teroris di Filipina telah menyatu dengan kelompok separatisme yang ada di daerah setempat.
Sehingga, senjata yang dimiliki lebih banyak dan beragam. Sementara kelompok teroris di Indonesia bergerak sendiri.
"Mereka (teoris di Filipina) punya persenjataan yang luar biasa," kata dia.
Ia melanjutkan, Kesiapan TNI menangkal teroris juga dapat dilihat dari aspek pendukung lainnya, seperti pembangunan posko-posko TNI di kota dan daerah.
Pembangunan Posko didasarkan pada hakikat ancaman yang akan masuk. Hal ini mempersulit teroris melakukan ancaman.
Ia menambahkan, keterlibatan TNI menanggulangi terorisme tidak akan memperkeruh huhungan baik dengan kepolisian.
Sebab, sinergitas TNI-Polri sebelumnya telah dibuktikan dengan tewasnya Santoso, pimpinan teroris di Poso saat kontak senjata pada Senin (18/7/2016) lalu.
"Santoso berhasil ditangkap itu kerja sama, bukan TNI saja atau bukan Polisi saja, tapi dua-duanya. Jadi kalau disebut memperkeruh berati tidak belajar (melihat) dari pengalaman (keberhasilan sebelumnya)," ujar dia.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana terorisme yang masih bergulir di DPR menuai polemik setelah wacana pelibatan TNI muncul.
Sumber : http://www.kompas.com/