![]() |
Bung Hatta |
Melihat foto Bung Hatta menyalami seorang prajurit Siliwangi ketika tiba di Stasiun Yogyakarta, pada Februari 1948, memang terasa magis selain menggetarkan. Di samping Bung Hatta adalah menteri keamanan Amir Syarufudin (yang nasibnya kemudian tragis karena dihukum mati karena menjadi salah satu pemimpin pemberontakan PKI Madiun di akhir tahun 1948).
Saat itu, akibat perjanjian Renvile, maka Jawa Barat harus dikosongkan dari pasukan atau tentara Republik Indonesia. Imbasnya, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Jogja, dan membiarkan wilayah Jawa Barat kosong. Yang tersisa tinggal ‘laskar rakyat’ yang dipimpin Karto Suwiryo yang saat itu masih sangat intens berhubungan dengan Jendral Sudirman.
Melalui surat menyurat antarkeduanya, diketahui Pak Dirman tak keberatan bila pasukan Kartosuwiryo —yang kemudian bertindak sembrono mendirikan Negara Islam Indonesia, mengamankan wilayah tanah Pasundan tersebut. Dan di kemudian hari terlacak surat-surat itu dikirimkan melalui Pak Dirman via salah satu orang kepercayaannya yang bernama Suharto yang kelak menjadi Presiden RI. Pakar politik Salim Said menuliskan perihal soal surat itu dalam disertasinya tentang militer Indonesia.
Dalam buku tentang ‘Operasi Burung Gagak’ (nama sandi militer Belanda ketika menyerang Yogyakarta pada Agresi Belanda kedua) saat itu terlacak jejak bagaimana eratnya hubungan Pak Dirman dengan Suharto. Dalam sebuah perbincangan sesaat Pak Dirman hendak meninggalkan Jogjakarta untuk memimpin gerilya, antara Pak Dirman terlibat dalam perbincangan singkat dengan perwiranya yang telah dipasrahi untuk menjaga keamanan Yogyakarta, yakni Letkol Suharto. Kala itu pasukan Belanda sudah di batas kota Jogjakarta dan Pak Driman memutuskan pergi ke luar Jogja karena saat itu Bung Karno urung memimpin langsung perang gerilya yang memang sudah lama dipersiapkan.
"Kamu tetap di sini (Yogyakarta) ya To,’’ perintah Pak Dirman.
"Siap Pak!" jawab Suharto.
“Kamu tahu risiko kan To,’’ lanjut Pak Dirman mengisyaratkan ada risiko besar yang akan mengancam nyawa Suharto ketika menjaga keamanan Jogja. Apalagi saat itu, ancaman penyusupan Westerling juga konkrit. Para petinggi keamanan sudah lama mengantisipasi kemungkinan munculnya penyusupan Westerling yang menargetkan para pemimpin Republik Indonesia.
"Siap Pak. Tahu,’’ jawab Suharto kembali.
Dan kemudian hubungan unik Suharto dengan Sudriman kembali terjadi saat presiden Sukarno meminta menjemput pulang Pak Dirman pulang dari gerilya untuk kembali ke Jogja. Suharto menjemput Sudirman dengan naik mobol Jeep menyusuri kawawan perbukitan Gunung Kidul. Ikut dalam perjalanan adalah Rosihan Anwar. Hanya mereka berdua naik Jeep untuk menjemput Pak Dirman itu.
“Suharto yang menyopir Jeep. Sepanjang perjalanan dia hanya diam saja. Dia memang sudah dikenal sebagai orang yang ‘kulino meneng’ (pendiam),’’ kata Rosihan. Setelah mobil berjalan cukup jauh dan diselingi berhenti meminum air kelapa, Jeep tersebut sampai di sebuah sungai. Setelah itu Jeep harus dtinggal dan perjalanan menjemput Pak Dirman kini dilakukan dengan cara berjalan kaki.
Sesampai di sana, Suharto segera melakukan perbincangan yang intinya membujuk panglimanya pulang. Dan benar saja, Pak Dirman pun akhirnya bersedia pulang. Setelah itu pasukannya mempersiapkan kepulangan Pak Driman dengan cara ditandu. Ya, meski bersedia pulang ke Jogja, namun memang Pak Dirman melakukannya dengan perasaan tak ’sreg’ atau berat hati.
Mengapa? Ini karena cita-cita Pak Dirman adalah 'Merdeka Sepenuh'-nya dengan cara menang perang, bukan melalui perjanjian. Apalagi Pak Dirman tahu bahwa saat itu posisi tentara sudah terjepit dan mora pasukan mereka sudah sangat rendah. Dengan kata lain, menang dalam peperangan sudah di depan mata.
Namun, karena taat sama pemerintah, Pak Dirman pulang. Dan kedatangan Pak Driman disambut dengan upacara kebesaran militer di Alun-Alun Utara. Saat itu Pak Dirman menyalami seluruh komandan pasukannya, di antaranya memeluk Komarudin salah satu komandan peleton pasukan di Yogyakarta yang dulu teledor melakukan penyerangan sehari sebelum 1 Maret 1949. Dengan haru Pak Dirman memeluk Komarudin, dan Komar pun memeluk panglima dengan menangis sesunggukan dibahunya sembari meminta maaf.
‘’Tidak apa-apa Komar,’’ kata Pak Dirman sembari menepuk-nepuk punggung Komarudin.
Setelah mengikuti upacara itu kemudian Pak Dirman pergi menemui Presiden dan Wakil Presiden di Istana Jogja. Ketika bertemu, Bung Karno terkejut melihat kondisi panglimanya yang begitu kurus dan terlihat begitu sakit. Bung Karno langsung memeluk Pak Dirman bersemangat. Sedangkan Pak Dirman membalas pelukan itu dengan bahasa tubuh biasa saja karena masih merasa tidak 'sreg' karena tidak menang perang secara total itu.
Pada peristiwa pelukan ini, karena posenya tidak bagus dan Pak Dirman terlihat kaku, Bung Karno meminta agar pelukan dengan Pak Dirman diulang. Juru foto istana, Mendur yang saat itu ada di dekat Bung Karno, pun memotretnya kembali.
Setelah peristiwa itu, kesehatan Pak Dirman makin memburuk. Dan tak lama berselang setelah perjanjian Konfrensi Meja Bundar ditandtangai di Denhaag pada akhir Desember 1949, atau sellang satu bulan pekan dari peristiwa itu, Pak Dirman wafat, 29 Januari 1950. Dan pada upacara kenegaraan pemakamannya di Taman Makam Pahlwan Semaki Jogjakarta, mantan kurir dan orang kepercayaannya untuk menjaga keamanan ibu kota RI di Yogyaarta, Suharto menjadi komandan upacaranya.
Akhirnya sejarah itu memang berwarna dan tak hanya milik sang penguasa. Bung Karno, Bung Hatta, Sudirmaan, hingga Komaruddin dan Kartosuwiryo itu adalah kenyataan sejarah Indonesia. Yang terpenting tidak ada pun satu orang yang merasa paling berhak atas negara dan bangsa ini!
Ingatlah selalu, negara ini adalah warisan dari banyak orang!
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/08/20/ouyvd7385-hijrah-siliwangi-hatta-sudirman-negara-ini-warisan-bersama-part1
Saat itu, akibat perjanjian Renvile, maka Jawa Barat harus dikosongkan dari pasukan atau tentara Republik Indonesia. Imbasnya, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Jogja, dan membiarkan wilayah Jawa Barat kosong. Yang tersisa tinggal ‘laskar rakyat’ yang dipimpin Karto Suwiryo yang saat itu masih sangat intens berhubungan dengan Jendral Sudirman.
Melalui surat menyurat antarkeduanya, diketahui Pak Dirman tak keberatan bila pasukan Kartosuwiryo —yang kemudian bertindak sembrono mendirikan Negara Islam Indonesia, mengamankan wilayah tanah Pasundan tersebut. Dan di kemudian hari terlacak surat-surat itu dikirimkan melalui Pak Dirman via salah satu orang kepercayaannya yang bernama Suharto yang kelak menjadi Presiden RI. Pakar politik Salim Said menuliskan perihal soal surat itu dalam disertasinya tentang militer Indonesia.
Dalam buku tentang ‘Operasi Burung Gagak’ (nama sandi militer Belanda ketika menyerang Yogyakarta pada Agresi Belanda kedua) saat itu terlacak jejak bagaimana eratnya hubungan Pak Dirman dengan Suharto. Dalam sebuah perbincangan sesaat Pak Dirman hendak meninggalkan Jogjakarta untuk memimpin gerilya, antara Pak Dirman terlibat dalam perbincangan singkat dengan perwiranya yang telah dipasrahi untuk menjaga keamanan Yogyakarta, yakni Letkol Suharto. Kala itu pasukan Belanda sudah di batas kota Jogjakarta dan Pak Driman memutuskan pergi ke luar Jogja karena saat itu Bung Karno urung memimpin langsung perang gerilya yang memang sudah lama dipersiapkan.
"Kamu tetap di sini (Yogyakarta) ya To,’’ perintah Pak Dirman.
"Siap Pak!" jawab Suharto.
“Kamu tahu risiko kan To,’’ lanjut Pak Dirman mengisyaratkan ada risiko besar yang akan mengancam nyawa Suharto ketika menjaga keamanan Jogja. Apalagi saat itu, ancaman penyusupan Westerling juga konkrit. Para petinggi keamanan sudah lama mengantisipasi kemungkinan munculnya penyusupan Westerling yang menargetkan para pemimpin Republik Indonesia.
"Siap Pak. Tahu,’’ jawab Suharto kembali.
Dan kemudian hubungan unik Suharto dengan Sudriman kembali terjadi saat presiden Sukarno meminta menjemput pulang Pak Dirman pulang dari gerilya untuk kembali ke Jogja. Suharto menjemput Sudirman dengan naik mobol Jeep menyusuri kawawan perbukitan Gunung Kidul. Ikut dalam perjalanan adalah Rosihan Anwar. Hanya mereka berdua naik Jeep untuk menjemput Pak Dirman itu.
“Suharto yang menyopir Jeep. Sepanjang perjalanan dia hanya diam saja. Dia memang sudah dikenal sebagai orang yang ‘kulino meneng’ (pendiam),’’ kata Rosihan. Setelah mobil berjalan cukup jauh dan diselingi berhenti meminum air kelapa, Jeep tersebut sampai di sebuah sungai. Setelah itu Jeep harus dtinggal dan perjalanan menjemput Pak Dirman kini dilakukan dengan cara berjalan kaki.
Sesampai di sana, Suharto segera melakukan perbincangan yang intinya membujuk panglimanya pulang. Dan benar saja, Pak Dirman pun akhirnya bersedia pulang. Setelah itu pasukannya mempersiapkan kepulangan Pak Driman dengan cara ditandu. Ya, meski bersedia pulang ke Jogja, namun memang Pak Dirman melakukannya dengan perasaan tak ’sreg’ atau berat hati.
Mengapa? Ini karena cita-cita Pak Dirman adalah 'Merdeka Sepenuh'-nya dengan cara menang perang, bukan melalui perjanjian. Apalagi Pak Dirman tahu bahwa saat itu posisi tentara sudah terjepit dan mora pasukan mereka sudah sangat rendah. Dengan kata lain, menang dalam peperangan sudah di depan mata.
Namun, karena taat sama pemerintah, Pak Dirman pulang. Dan kedatangan Pak Driman disambut dengan upacara kebesaran militer di Alun-Alun Utara. Saat itu Pak Dirman menyalami seluruh komandan pasukannya, di antaranya memeluk Komarudin salah satu komandan peleton pasukan di Yogyakarta yang dulu teledor melakukan penyerangan sehari sebelum 1 Maret 1949. Dengan haru Pak Dirman memeluk Komarudin, dan Komar pun memeluk panglima dengan menangis sesunggukan dibahunya sembari meminta maaf.
‘’Tidak apa-apa Komar,’’ kata Pak Dirman sembari menepuk-nepuk punggung Komarudin.
Setelah mengikuti upacara itu kemudian Pak Dirman pergi menemui Presiden dan Wakil Presiden di Istana Jogja. Ketika bertemu, Bung Karno terkejut melihat kondisi panglimanya yang begitu kurus dan terlihat begitu sakit. Bung Karno langsung memeluk Pak Dirman bersemangat. Sedangkan Pak Dirman membalas pelukan itu dengan bahasa tubuh biasa saja karena masih merasa tidak 'sreg' karena tidak menang perang secara total itu.
Pada peristiwa pelukan ini, karena posenya tidak bagus dan Pak Dirman terlihat kaku, Bung Karno meminta agar pelukan dengan Pak Dirman diulang. Juru foto istana, Mendur yang saat itu ada di dekat Bung Karno, pun memotretnya kembali.
Setelah peristiwa itu, kesehatan Pak Dirman makin memburuk. Dan tak lama berselang setelah perjanjian Konfrensi Meja Bundar ditandtangai di Denhaag pada akhir Desember 1949, atau sellang satu bulan pekan dari peristiwa itu, Pak Dirman wafat, 29 Januari 1950. Dan pada upacara kenegaraan pemakamannya di Taman Makam Pahlwan Semaki Jogjakarta, mantan kurir dan orang kepercayaannya untuk menjaga keamanan ibu kota RI di Yogyaarta, Suharto menjadi komandan upacaranya.
Akhirnya sejarah itu memang berwarna dan tak hanya milik sang penguasa. Bung Karno, Bung Hatta, Sudirmaan, hingga Komaruddin dan Kartosuwiryo itu adalah kenyataan sejarah Indonesia. Yang terpenting tidak ada pun satu orang yang merasa paling berhak atas negara dan bangsa ini!
Ingatlah selalu, negara ini adalah warisan dari banyak orang!
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/08/20/ouyvd7385-hijrah-siliwangi-hatta-sudirman-negara-ini-warisan-bersama-part1