Storm Shadow |
Pasca Operasi Badai Gurun pada 1991, AU Inggris mendapati kalau pesawat-pesawat tempur Tornadonya ternyata rawan terhadap jaringan pertahanan udara Irak. Kementerian Pertahanan Inggris pun diminta untuk dapat mencarikan senjata yang dapat diluncurkan dari pesawat udara dari luar jangkauan sistem pertahanan udara musuh.
Pada 1987 sebenarnya sudah ada keinginan serupa untuk mengembangkan Modular Stand Off Weapon (MSOW), tetapi akhirnya gagal. Pada 1994, Kementerian Pertahanan Inggris merilis Staff Requirement (Air) 1236 yang dikenal juga sebagai CASOM (Conventional Stand Off Missile) untuk AU Inggris.
Ada total 7 perusahaan yang menjawab tantangan tersebut yakni Texas Instrument, Hughes, McDonnel Douglas, Daimler-Benz, GEC-Marconi, Matra, dan Rafael. Semua punya jagoan masing-masing dan sedang dalam tahap mengembangkan senjata sejenis untuk sejumlah Angkatan Udara pemesannya.
CASOM harus mampu diintegrasikan dengan tiga jenis pesawat serang/tempur yaitu Harrier, Tornado, dan Eurofighter Typhoon. Setelah pembicaraan mendalam dengan masing-masing perusahaan, Inggris merasa cocok dengan produk Matra yaitu Apache/ SCALP yang merupakan senjata penghancur lapangan udara dengan hululedak KRISS yang mampu menjebol beton dan aspal.
Latar belakang pemilihan Matra sebagai mitra juga sebenarnya dilatarbelakangi politik. Saat itu ada dua kepentingan yang membayangi. Yang pertama adalah keengganan Perancis untuk merestui merger antara British Aerospace dari Inggris dengan Matra, kecuali kalau Matra dipilih sebagai mitra pengembangan rudal jarak jauh CASOM.
Sementara dari segi bisnis, Inggris yang waktu itu sangat dekat dengan Arab Saudi jelas tidak mungkin memilih AGM-142 Popeye yang dikembangkan oleh Israel, walaupun rudalnya sebenarnya sudah siap pakai. Kalau Popeye terpilih, Arab Saudi bisa-bisa tidak mau lagi membeli senjata Inggris setelah deal raksasa Al Yamamah.
Akhirnya, pada 1997 kontrak ditandatangani antara Kementerian Inggris dan BAe-Matra Dynamics (MBDA) dengan proyek yang dinamai Storm Shadow (Bayangan Badai) oleh Inggris dan SCALP NG oleh Perancis. Inggris mengucurkan 700 juta Poundsterling sementara Perancis 6 Miliar Francs untuk 500 rudal. Italia bergabung belakangan sebagai pengguna Tornado dan kemudian Eurofighter.
Storm Shadow sendiri memiliki bentuk rudal yang menarik, dengan tubuh relatif mengotak dengan kepala ogif. Rudal ini didesain untuk mampu menjebol beton atau bebatuan, serta dilengkapi dengan pemandu inersial. Dimensinya adalah panjang 5,1 meter, bentang sayap 3 meter, dan diameter 0,48 meter. Bobotnya mencapai 1,3 ton dan jarak efektif 250 kilometer.
Storm Shadow didesain untuk menghantam sasaran dengan akurat melalui panduan inersial, GPS, dan pemetaan kontur bumi sehingga bisa diprogram untuk mengikuti jalur tertentu. Kepala rudal dilengkapi dengan pemindai infra merah untuk mencocokkan tangkapan sasaran aktual dengan gambar target yang bisa diupload sebelum peluncuran.
Hululedak Storm Shadow dibuat oleh pabrik Royal Ordnance dengan nama BROACH (Bomb Royal Ordnance Augmented Charge) yang dibuat dua tingkat, yang pertama menjebol dan yang kedua akan menembus permukaan. Saat terbang rudal dikontrol sayap utama dan sayap ekor, serta ditenagai oleh mesin Turbomeca Microturbo TRI 60-30.
Inggris sebagai pengguna pertama Storm Shadow diintegrasikan pada Tornado GR.4, dimana satu pesawat bisa membawa sampai empat Storm Shadow. Misi pertama yang dijalaninya adalah operasi Telic di Irak pada 2003, dimana Tornado dari 617 Squadron menembakkan 27 rudal Storm Shadow yang sejatinya belum dinyatakan masuk dalam jajaran operasional. (Aryo Nugroho)