F-35 Lightning II |
Bukan proyek F-35 Lightining II namanya kalau tiada hari tanpa berita negatif soal kualitas atau pembengkakan biaya. Departemen Pertahanan AS diberitakan Business Insider (02/11) memerintahkan untuk menghentikan penyerahan F-35 dari pabrik Lockheed Martin selama 30 hari ke depan, setelah ditemukannya masalah genting soal karat yang ditemukan di sekitar pengencang yang menempelkan antara lapisan karbon fiber di kulit terluar dengan badan pesawat yang terbuat dari alumunium.
Ditengarai noda karat tersebut bisa muncul karena tiadanya lapisan pelindung anti karat di titik pengencang, sebuah kealpaan luar biasa untuk jet tempur super canggih yang harganya ratusan juta dolar. Akibat ditemukannya masalah ini, terpaksa harus ada pemeriksaan tambahan, proses produksi dimodifikasi dengan menambahkan proses pelapisan anti karat, dan jet tempur yang telah diserahkan ke pemesan terpaksa diperiksa kembali.
Padahal, jika ditelusuri sampai ke pemberitaan di tahun 2010, isu karat bukanlah hal yang baru bagi F-35. Badan Pemeriksa Keuangan AS atau GAO (General Accountability Office) sudah memperingatkan bahwa ada potensi problem karat di F-35, sama seperti problem serupa yang dialami oleh F-22 Raptor. GAO sudah memperingatkan bahwa lapisan primer pelindung yang digunakan F-35, yang serupa dengan F-22, tidaklah efektif untuk melindungi F-35 dari karat dan menyarankan sistem pelapis baru yang efektif. Sayangnya, seperti terbukti dari berita yang beredar, Lockheed Martin selaku pabrikan rupanya tidak belajar.
Walaupun dikatakan tidak akan mempengaruhi target penyerahan 66 jet tempur F-35 untuk tahun 2017 ini, masalah-masalah kecil yang seharusnya bisa diidentifikasi dalam fase desain ini sungguh mengganggu pesawat tempur yang proses pembuatannya makan waktu 17 tahun ini, membuat pesawat tempur masa depan saat di meja desain menjadi pesawat tempur masa kini atau bahkan terancam tergeser ke masa lampau.
Proyek F-35 sendiri memang jadi tumpuan, sudah pada titik tidak bisa digagalkan karena investasi yang sudah terlalu besar, nasib Lockheed Martin selaku pabrikan yang seperempat pendapatannya tergantung pada F-35, dan kompleks superioritas dimana AS sudah lama tidak terlibat dalam perang udara skala besar sehingga meyakini platform manuver marjinal seperti F-35 akan memiliki keunggulan dalam kemampuan pertempuran dalam jaringan.
Namun begitu, F-35 sendiri menunjukkan gelagat perbaikan. Biaya produksinya untuk batch kesepuluh dilaporkan turun ke angka di bawah US$100 juta, sesuai dengan proyeksi penurunan biaya produksi tetapi masih jauh di atas ekspektasi AS. Sejumlah F-35 dari ketiga varian pun sudah disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Semenanjung Korea. (Aryo Nugroho)