OPCW |
Tim ahli dari Lembaga Pengawas Anti Senjata Kimia atau OPCW dikabarkan akan diizinkan masuk ke lokasi serangan gas kimia di kota Douma, Suriah. Hal itu disampaikan pejabat Kementerian Pertahanan Rusia, Igor Kirillov kepada wartawan di Kedutaan Rusia di Den Haag, Senin, 16 April 2018.
Tim ahli itu akan memasuki Douma pada hari Rabu, 18 April. "Rabu merupakan saat kami merencanakan kedatangan para ahli OPCW," kata Kirillov.
Rusia sendiri bersikukuh bahwa serangan kimia yang ditayangkan dalam bentuk video dan foto-foto di area yang dikuasai pemberontak itu adalah bohong, mengutip Guardian, 17 April 2018.
Untuk itu, Moscow mengatakan tidak akan menghalangi misi pencari fakta dari OPCW ke lokasi terjadinya serangan gas kimia di Douma.
Adapun laporan dari www.globalresearch.ca, 16 April 2018 menyatakan, serangan senjata kimia tidak terjadi. Serangan senjata kimia itu merupakan kebohongan untuk dijadikan alasan kejahatan perang negara-negara Barat semakin meluas di Suriah.
Global Research mengutip laporan jurnalis Peorsan Sharp dari One America News yang melaporkan dari Douma, di timur Ghouta.
Pekan lalu, pemerintah Suriah telah mengundang OPCW mengirimkan timnya untuk melakukan investigasi atas tudingan serangan kimia di Douma.
Sekitar 60 hingga 75 orang tewas disebabkan dan lebih dari 1000 orang terluka akibat serangan kimia di Douma, tak jauh dari Damaskus, ibukota Suriah pada 7 April 2018.
Anak-anak menerima perawatan medis setelah pasukan rezim Assad diduga melakukan serangan gas beracun ke kota Duma, Ghouta Timur, Damaskus, Suriah, 7 April 2018. Media pemerintah Suriah membantah jika militer telah meluncurkan serangan kimia. Fadi Abdullah/Anadolu
Peristiwa serangan senjata kimia ini bukan yang pertama terjadi selama 7 tahun perang berkecamuk di Suriah.
Serangan senjata kimia tahun 2013 terjadi di Suriah. Anggota Komisi PBB untuk Penyelidikan Independen Internasional untuk Suriah, Carla del Ponte mengungkapkan, kelompok pemberontak anti presiden Suriah, Bashar al Assad yang menembakkan senjata kimia berupa gas saraf sarin.
Menurut del Ponte, para korban serangan senjata kimia yang memberikan kesaksian bahwa kelompok pemberontak anti Assad yang menebarkan gas mematikan itu, bukan pasukan pemerintah Suriah seperti tudingan Amerika Serikat dan sekutunya.
Meski begitu del Ponte mengatakan, kesaksian para korban serangan gas Sarin masih perlu dibuktikan.
"Penyelidik kami berada di beberapa negara jiran untuk mewawancarai para korban, dokter, dan petugas medis lapangan.Berdasarkan laporan mereka pekan lalu, yang saya lihat ada dugaan kuat, konkrit tapi belum menjadi bukti kuat bahwa pemberontak yang berusaha melengserkan orang kuat Suriah Bashar al Assad telah menggunakan gas saraf,' kata del Ponte dalam wawancara dengan televisi Swiss, seperti dikutip dari The Washington Post, Senin, 16 April 2018.
Del Ponte mengatakan, timnya belum menemukan bukti bahwa pasukan Suriah menggunakan senjata kimia. Namun ia akan melanjutkan investigasi yang dibutuhkan.
Juru bicara pemberontak Angkatan Bersenjata Pembebasan Suriah atau FSA, Louay Almokdad membantah kelompoknya telah menggunakan senjata kimia itu.
"Kami tidak memiliki mekanisme untuk menembakkan senjata seperti ini, yang butuh rudal itu dan membawa hulu ledak kimia, dan kami di FSA tidak memiliki kemampuan seperti itu," kata Almokdad saat diwawancara CNN.
Komisi PBB untuk penyelidikan internasional tentang Suriah dibentuk pada Agustus 2011 untuk menangani dugaan terjadi kejahatan HAM dalam konflik di Suriah. Lembaga ini mulai bekerja pada Maret tahun ini.
Pembentukan Komisi PBB untuk penyelidikan internasional tentang Suriah juga sebagai tindak lanjut laporan Badan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada Juni lalu.
Sumber : https://www.tempo.co/