radarmiliter.com - Perairan Natuna Indonesia menjadi sumber ketegangan Indonesia dan China selama beberapa tahun terakhir.
Beijing mengklaim kawasan Natuna adalah bagian historis atas kawasan penangkapan ikan bagi negara itu. Namun, pemerintah Indonesia bersikeras bahwa alasan China itu tidak berdasar.
Lebih lanjut, Ding Duo, seorang peneliti di Institut Nasional China untuk Studi Laut China Selatan di Hainan, mencoba menjelaskan klaim Beijing itu.
Menurutnya, kawasan penangkapan ikan warga China secara historis berasal dari kedaulatan teritorialnya atas Kepulauan Spratly dan hak sejarah.
"Dalam hal landas kontinen eksklusif, luas wilayah yang tumpang tindih sekitar 36.000 kilometer persegi. Jika Anda memasukkan ZEE, luasnya lebih dari 60.000 kilometer persegi, "kata Ding, seperti dikutip SCMP.
Luas area ini kira-kira setara dengan ukuran Bhutan (38.000 km persegi) dan Lituania (65.000 km persegi).
Analis mencatat bahwa Indonesia dan China kerap memiliki perselisihan di sekitar ZEE Natuna. Perselisihan berawal dari klaim kedua belah pihak atas teritori tersebut berdasarkan dua hukum berbeda. Masalahnya, hak Indonesia diakui oleh hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dan China tidak, seperti dilaporkan The Diplomat.
Wilayah yang menjadi sengketa adalah area ZEE yang tumpang tindih dengan klaim ZEE China. Kawasan ZEE China atas Kepulauan Spratly atau dikenal juga sebagai Nansha dan bagian dari Laut China Selatan, tumpang tindih dengan klaim ZEE Indonesia atas Kepulauan Natuna.
Indonesia menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah mengakui keabsahan klaim apa pun berdasarkan peta sembilan garis putus-putus China. Sebab, klaim China itu tidak memiliki dasar dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Pengadilan internasional di Den Haag memperkuat interpretasi ini pada tahun 2016 dalam kasus yang diajukan Manila terhadap Beijing. Keputusan pengadilan membatalkan klaim China, yang ditandai di peta dengan garis sembilan putus-putus, terhadap sekitar 90 persen Laut China Selatan.
Beijing menolak keputusan itu dan sejak itu lebih memilih untuk terlibat dalam pembicaraan bilateral dengan negara-negara yang terlibat dalam sengketa dan melobi pembuatan kode etik atas insiden di Laut China Selatan dengan anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara).
Ding mencatat bahwa Indonesia dan China sebelumnya pernah berselisih mengenai aktivitas penangkapan ikan pada 1980-an dan 1990-an. Belakangan, masalah ini meningkat karena kedua negara berusaha untuk menggunakan lebih banyak sumber daya maritim, seiring dengan pertumbuhan populasi dan ekonomi.
René Pattiradjawane, seorang peneliti di The Habibie Center mengatakan pada 1994 China sempat mengejutkan Indonesia. Sebab, pada Agustus 1994 China mengeluarkan peta berjudul Atlas Operasi Perikanan Laut China Selatan, yang diterbitkan oleh Administrasi Perikanan Departemen Pertanian China di Distrik Nanhai, itu mengklaim seluruh wilayah di sekitar Natuna sebagai perairan penangkapan ikan teritorial Beijing.
Meski demikian, Collin Koh, seorang peneliti di S.Rajaratnam School of International Studies di Nanyang Technological University Singapura, kecil kemungkinan Beijing akan mendorong Jakarta terlalu keras. Hal ini terlepas dari insiden baru-baru ini di Natuna. Sebab, kepentingan geopolitik China atas Indonesia yang semakin meningkat.
Selain itu, China diperkirakan tak ingin kehilangan pengaruh dari Jepang. Ding lantas merujuk pada bagaimana Jakarta telah meminta Jepang untuk membantunya mengembangkan sektor perikanan dan energi di wilayah kepulauan Natuna Januari lalu setelah perselisihan antara kapal China dan Indonesia.
"Setiap kali ada perselisihan antara China dan negara-negara tetangganya di Laut China Selatan, Anda akan sedikit banyak menemukan kehadiran Jepang," kata Ding. (eks)
Sumber : cnnindonesia.com