Pasukan Khusus TNI |
Enam hari sudah, 10 warga negara Indonesia (WNI) awak kapal tunda Brahma 12 berada dalam sekapan kelompok milisi Abu Sayyaf di daerah Filipina. Sejak mereka dinyatakan disandera pada Sabtu, 26 Maret 2016, Pemerintah Indonesia terus membangun komunikasi dengan otoritas Filipina, terkait upaya pembebasan.
Setiap hari, komunikasi antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno LP Marsudi dengan Menlu Filipina semakin intensif. Upaya diplomasi pun diarahkan pada pemberian bantuan militer, sehingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) bisa memasuki wilayah Filipina dengan membawa persenjataan lengkap. Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Filipina mengenai keterlibatan TNI untuk membebaskan Kapten Peter Tonsen Barahama dan sembilan orang anak buahnya.
"Kita bersabar, masih menunggu dan kita berkoordinasi dengan pemerintah Filipina meminta jaminan agar WNI yang ditawan segera bisa dibebaskan," ungkap Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Negara, Jakarta, Kamis 31 Maret 2015.
Aparat keamanan Indonesia pun tengah dalam kondisi siaga tinggi melakukan penyerbuan ke lokasi di mana Abu Sayyaf menyandera 10 WNI. Namun, operasi militer tak bisa dilakukan, selama Pemerintah Filipina belum memberikan lampu hijau.
Di sisi lain, Abu Sayyaf terus mendesak agar pihak keluarga mau memberikan tebusan sebesar 50 juta peso, atau sekitar Rp14,2 miliar. Mereka juga memperbaharui batas waktu pemberian tebusan, dari awalnya pada 31 Maret 2016, menjadi 8 April 2016.
Menghadapi situasi yang semakin kritis ini, Presiden Joko Widodo tak berpangku tangan. Menurut Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso, Jokowi sudah menghubungi Presiden Benigno Aquino III, untuk membahas upaya pembebasan sandera.
"Itu yang lagi ada pembicaraan antara Presiden kita dan Presiden mereka (Filipina)," jelas Sutiyoso, usai menghadap Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Kamis 31 Maret 2016.
Di dalam negeri, Presiden pun mengkonsolidasikan jajarannya dan mengumpulkan semua pihak terkait masalah ini, yaitu Menlu Retno dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
"Kita masih punya waktu 8 hari. Ini kita terus negosiasi," tegas Sutiyoso.
Menurut Sutiyoso, pemerintah juga tak bisa mengambil tindakan secara gegabah, karena penetrasi militer akan merusak hubungan diplomasi Indonesia-Filipina. Selain itu, merupakan hal yang wajar jika Filipina mau menyelesaikan masalah ini dengan kekuatan sendiri, karena Abu Sayyaf juga menjadi kepentingan nasional mereka.
"Karena ini adalah di negara orang lain tentu harus ada proses. Proses kerjasama dan izin dari pemerintah Filipina andai kata kita harus mengirim pasukan. Sekali lagi andai kata. Bukan berarti itu opsinya ya," jelas Sutiyoso.
Sumber : IM