Lucitanio Expresso |
"Di kapal perang kami sana, semuanya teman-teman saya. Saya kenal betul karakter mereka. Saya tahu mereka dilatih untuk membunuh orang. Tapi sampai hari ini mereka belum pernah membunuh orang. Oleh sebab itu jika anda melanggar batas wilayah Indonesia, saya yakin mereka yang menunggu anda di sana, akan menenggelamkan kapal anda. Dan setelah itu mereka cari anda. Kalau anda masih bernafas, mereka akan siksa anda sampai mati. Jika anda sudah menjadi mayat, maka jenasah anda akan mereka cincang"
"Saya hanya mau memberi tahu anda. Teman-teman saya pasti akan sangat senang bisa membunuh orang seperti anda. Inilah waktunya mereka mempraktekkan ilmu yang mereka sudah lama pelajari tentang bagaimana cara membunuh orang",
Kalimat di atas merupakan potongan percakapan tahun 1992 oleh Atase Pertahanan di KBRI Canberra, Letkol Yoost Mengko dengan Dos Santos, kapten "Lucitanio Expresso", kapal milik Portugal.
Indonesia dan Portugal ketika itu tidak punya hubungan diplomatik karena bersengketa dalam kepemilikan Timor Timur.
Di Darwin, Australia Utara, saat itu 9 Maret 1992, berdua makan siang di sebuah restoran papan atas.
Memastikan apakah Dos Santos benar-benar siap membawa kapal persiar "Lucitanio Expresso" ke Dili, Timor Timur dengan penumpang mahasiswa-mahasiswi cantik asal Portugal.
Ucapan Yoost Mengko itu sendiri lebih merupakan sebuah gertakan, menakut-nakuti. Karena sejujurnya, jika Dos Santos nekad masuk ke Timor Timur, kapal perang maupun pesawat tempur yang disiagakan, tak satupun yang berani menembakkan pelurunya ke "Lucitanio Expresso". Karena jika penembakan itu dilakukan Indonesia, dunia internasional akan mengecam Indonesia. Dan itu yang dicari Portugal.
Apa yang dilakukan diplomat RI di Canberra tersebut hanya untuk mencegah "Lucitanio Expresso" berlayar ke Dili, Timor Timur, dengan taktik perang urat syaraf.
Benar bahwa Indonesia sudah menyiapkan armada perangnya di perairan Indonesia yang menghadap ke Australia Utara. Tapi itu tak lebih dari sebuah pamer keseriusan. Pamer itu hanya untuk konsumsi internasional bahwa Indonesia siap mengambil resiko apapun.
Dos Santos yang mendengarkan kalimat demi kalimat Yoost Mengko dengan penuh perhatian, hanya diam dan seperti sedang berpikir.
"Apakah anda siap dibunuh di sana?", sambung Yoost Mengko lagi.
Tak disangka gertakan disusul pertanyaan tersebut berbuah baik. Dos Santos merubah pendiriannya. Bahwa dia tidak akan membawa kapalnya berlayar ke wilayah Indonesia. Dia tidak ingin mati dalam sengketa itu. Ia lebih mengutamakan keselamatan dirinya dan kepentingan isteri dan anak-anaknya.
Hanya saja karena pemerintah Portugal sudah membayarnya US$ 750,- juta atau sekitar Rp.10,- triliun - nilai saat ini, Santos harus membuat pertanggung jawaban.
Jadi kepada Yoost Mengko dia minta agar diizinkan berlayar sampai ke wilayah internasianal. Supaya dia ada bukti ke pemeringtah Posrtugal. Di dekat wilayah itu dia akan memutar haluan, kembali ke Darwin dan seterusnya ke Portugal, Eropa Barat sana.
Yoost Mengko menyetujuinya dan berjanji mengkomunikasikan persetujuan itu dengan komandan armada perang laut Indonesia yang membuang jangkar di Laut Timor.
Namun kepada Dos Santos diberikan catatan-catatan yang jelas tentang apa yang harus dilakukannya ketika menuju ke wilayah Indonesia.
Dia misalnya harus memberi tahu titik koordinat laut mana yang akan dia lewati menuju perairan Indonesia. Dan harus disiplin serta patuh.. Sebab selama pelayaran itu, radar TNI Angkatan Laut terus memantau perjalanannya.
"Lucitanio Expresso" diminta untuk jangan sekali-kali merubah manuvernya. Sebab hal itu bisa berdampak fatal. Prajurit TNI AL yang sudah meletakkan jarinya di pelatuk meriam misalnya, bisa saja langsung menembak sasaran bila muncul sebuah manuver yang tidak sesuai dengan yang disepakati.
Ada rasa puas dalam diri Yoost Mengko setelah terjadi kesepakatan dengan Dos Santos. Tapi kesepakatan itu baru bersifat sementara. Sehingga kesepakatan itu tetap tidak membuatnya tenang.
Sebab pelayaran dari Darwin menuju bagian Selatan Pulau Timor, memakan waktu lebih dari 6 jam. Sehingga menjelang waktu 6 jam setelah keberangkatan "Lucitanio Expresso", justru menjadi momen-momen yang menegangkan.
Terutama karena kawan-kawannya di kapal perang TNI AL, juga terus bersiaga dan dalam keadaan tegang.
Dan tiba-tiba, sebuah kejadian yang menegangkan pecah. Ketika dalam jarak yang sudah demikian dekat dengan wilayah Indonesia, mesin kapal "Lucitanio Expresso" tiba-tiba mati mendadak.
Pasukan Indonesia yang sedang siaga pun, tegang. Menunggu apa yang akan keluar dari kapal yang tiba-tiba mati mesin itu.
Kapten Marsetio yang berada di geladak kapal perang RI, langsung mengontak Dos Santos melalui pengeras suara.
Marsetio yang kelak menjadi Kepala Staf TNI AL ( 17 Desember 2012 - 31 Desember 2014), memerintahkan Dos Santos untuk menaikkan sebuah bendera yang menandakan, kapal sedang dalam keadaabn darurat.
Dan kepada kapten kapal Portugal itu oleh kapten Marsetio terus diberi waktu dalam hitungan menit sampai akhirnya dia harus berputar haluan membelakangi wilayah Indonesia.
Setelah itu Yoost Mengko kembali memantau perkembangan sampai "Lucitanio Expresso" kembali ke Darwin.
"Saya baru bisa tenang, ketika dia meninggalkan Darwin kembali ke Portugal", kisahnya.
Dalam perjalanan pulang tersebut, "Lucitanio Expresso" menyusuri pantai Selatan Pulau Jawa, terus ke arah Sumatera, melewati Kepulauan Nias.
Saat itu tiba-tiba Yoost Mengko mendapatkan pertanyaan dari awak kapal perang yang tidak jadi membunuh orang Portugal tersebut. Apakah mereka boleh mencegatnya di perjalanan dan menenggelamkan ke dasar laut.
Sebab rupanya ada juga niat tak terluapkan dari teman-teman Yoost Mengko yaitu untuk bisa membunuh warga Portugal.
"Oh jangan. Kita akan akan dikecam dunia intersional; Kita tidak punya alasan membunuhnya", jawab Mengko.
Itulah petikan dari kisah diplomasi dan perang urat syaraf yang sejauh ini tak pernah terjadi. Yang sumbernya bermuara dari kepemilikan sebuah wilayah.
Ketika "Lucitanio Expresso" itu berencana ke Timor Timur wilayah itu sudah menjadi bagian dari Indonesia. Pertarungan dengan Portugal dalam kepemilikan Timor Timur, kini Timor Leste, sudah dimenangkan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dimasukkannya Timor Timur sebagai Provinsi RI pada tahun 1976.
Tapi Portugal sebagai bekas penjajah, tidak mau menerima begitu saja.
Apalagi hingga tahun 1992 tersebut kedaulatan Indonesia atas Timor Timur tidak diakui atau belum oleh PBB. Bahkan Amerika Serikat, salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memveto legalitas kedaulatan Indonesia atas Timor Timur.
Padahal keputusan Indonesia menganeksasi Timor Timur tidak lepas dari dorongan Amerika Serikat. AS pada waktu itu dipimpin Presiden Gerald Ford.
Untuk menegaskan dukugan tersebut, Presiden Ford secara khusus menemui Presiden Soeharto di Jakarta, pada 5 Desember 1975.
AS berkepentingan atas masuknya Indonesia ke Timor Timur (Portuggis). Sebab AS yang baru kalah perang di Indochina pada April 1975, sangat khawatir jika Timor Portugis menjadi sarang komunis. Pasalnya Portugal pada tahun itu dikuasai oleh rezim komunis.
Akibat sikap AS yang mendua, kedaulatan Indonesia di Timor Timur secara hukum internasional bermasalah. Inilah yang kemudian dimanfaatkan Portugal, negara bekas penjajah di Timor Timur.
Selain menduanya sikap AS, Indonesia memiikikelemahan. Semenjak Timor Timur bergabung dengan Indonesia, ada saja permasalahan yang muncul di provinsi tersebut.
Yang paling sensitif adalah soal pelanggaran HAM.
Dan sebelum Indonesia menganeksasi Timor Timur secara damai, di wilayah itu terjadi sebuah pembunuhan atas 7 wartawan asing. Para wartawan tersebut berasal dari berbagai jkewargan negaraan tetap home-base mereka di Sydney atau Canberra, Australia.
Militer Indonesia kemudian dituding sebagai pembunuh para wartawan tersebut. Dalam, situasi ini empati Australia terhadap Indonesia relatif rendah.
Persoalan HAM dan pembunuhan wartawan belum terselesaikan, lantas di awal Desember 1991, terjadi insiden di pekuburan Santa Cruz, Dili.
Terjadi keributan antara demonstran anti-Indonesia dengan militer RI yang bertugas di Dili yang berujung pada terbunuhnya beberapa pemuda Timor Timur.
Media-media internasional menyebut peristiwa itu sebagai pembantaian di kota Dili atau "Massacre in Dili"
"Pembantaian" itu terjadi hanya selang 7 bulan Indonesia melaksanakan Pemilu di tahun 1992.
Secara politik konsentrasi pemerintah Indonesia terbelah.
Momentum inilah yang dimanfaatkan Portugal dengan mengirim kapal provokator "Lucitanio Expresso" pada Maret 1992.
Ketegangan pun merebak di Dili selama kurang lebih 3 hari penuh yaitu 9 - 11 Maret 1992. Indonesia berhasil memenangkan pertempuran tanpa senjata.
Sejak Agustus 1999, kemenangan itu menjadi tak berarti. Sebab Timor Timur terlepas dari NKRI setelah sebuah referendum dilaksanakan di wilayah itu dibawah pengawasan PBB.
Menjelang referendum Yoost Mengko kembali ditugaskan menangani persoalan Timor Timur. Dia menemui Xanana Gusmao, pejuang Timor yang dipenjara pemerintah RI di Rutan Cipinang Jakarta.
Bung Jose, demikian pinta Xanana kepada Yoos yang dia sapa dengan nama Portugal - seperti Jose Morinho.
"Lepaskan saya dari penjara dan bawa saya ke Dili. Beri saya kesempatan berpidato kepada rakyat Timor. Saya yakin mereka akan mendengar saya dan memilih tetap bersama Indonesia", pinta Xanana Gusmao.
Tapi permintaan putera Timor Timur tidak dikabulkan otoritas Jakarta. Hasilnya, melalui referendum, Timor Timur keluar dari NKRI dan Xanana menjadi Presiden pertama dari Timor Timur yang berganti nama menjadi Timor Leste.
Setelah Timor Timur merdeka, hubungan diplomatik RI - Portugal kembali dicairkan.
Perang diplomasi yang menggunakan kapal pesiar, tak ada lagi. Perang bentuk lainnya pun sudah tidak ada.
Yoost Mengko yang sudah pensiun seolah memendam rasa sesal. Karena pekerjaan berat yang pernah dilakukannya dan berhasil, akhirnya seperti tak membekas
Hidup tak dikenal mati tak dikenang. *****
Sumber : http://www.rmol.co/read/2016/10/18/264882/Cerita-Ringan-Dari-Seorang-Jebolan-CIA-
"Saya hanya mau memberi tahu anda. Teman-teman saya pasti akan sangat senang bisa membunuh orang seperti anda. Inilah waktunya mereka mempraktekkan ilmu yang mereka sudah lama pelajari tentang bagaimana cara membunuh orang",
Kalimat di atas merupakan potongan percakapan tahun 1992 oleh Atase Pertahanan di KBRI Canberra, Letkol Yoost Mengko dengan Dos Santos, kapten "Lucitanio Expresso", kapal milik Portugal.
Indonesia dan Portugal ketika itu tidak punya hubungan diplomatik karena bersengketa dalam kepemilikan Timor Timur.
Di Darwin, Australia Utara, saat itu 9 Maret 1992, berdua makan siang di sebuah restoran papan atas.
Memastikan apakah Dos Santos benar-benar siap membawa kapal persiar "Lucitanio Expresso" ke Dili, Timor Timur dengan penumpang mahasiswa-mahasiswi cantik asal Portugal.
Ucapan Yoost Mengko itu sendiri lebih merupakan sebuah gertakan, menakut-nakuti. Karena sejujurnya, jika Dos Santos nekad masuk ke Timor Timur, kapal perang maupun pesawat tempur yang disiagakan, tak satupun yang berani menembakkan pelurunya ke "Lucitanio Expresso". Karena jika penembakan itu dilakukan Indonesia, dunia internasional akan mengecam Indonesia. Dan itu yang dicari Portugal.
Apa yang dilakukan diplomat RI di Canberra tersebut hanya untuk mencegah "Lucitanio Expresso" berlayar ke Dili, Timor Timur, dengan taktik perang urat syaraf.
Benar bahwa Indonesia sudah menyiapkan armada perangnya di perairan Indonesia yang menghadap ke Australia Utara. Tapi itu tak lebih dari sebuah pamer keseriusan. Pamer itu hanya untuk konsumsi internasional bahwa Indonesia siap mengambil resiko apapun.
Dos Santos yang mendengarkan kalimat demi kalimat Yoost Mengko dengan penuh perhatian, hanya diam dan seperti sedang berpikir.
"Apakah anda siap dibunuh di sana?", sambung Yoost Mengko lagi.
Tak disangka gertakan disusul pertanyaan tersebut berbuah baik. Dos Santos merubah pendiriannya. Bahwa dia tidak akan membawa kapalnya berlayar ke wilayah Indonesia. Dia tidak ingin mati dalam sengketa itu. Ia lebih mengutamakan keselamatan dirinya dan kepentingan isteri dan anak-anaknya.
Hanya saja karena pemerintah Portugal sudah membayarnya US$ 750,- juta atau sekitar Rp.10,- triliun - nilai saat ini, Santos harus membuat pertanggung jawaban.
Jadi kepada Yoost Mengko dia minta agar diizinkan berlayar sampai ke wilayah internasianal. Supaya dia ada bukti ke pemeringtah Posrtugal. Di dekat wilayah itu dia akan memutar haluan, kembali ke Darwin dan seterusnya ke Portugal, Eropa Barat sana.
Yoost Mengko menyetujuinya dan berjanji mengkomunikasikan persetujuan itu dengan komandan armada perang laut Indonesia yang membuang jangkar di Laut Timor.
Namun kepada Dos Santos diberikan catatan-catatan yang jelas tentang apa yang harus dilakukannya ketika menuju ke wilayah Indonesia.
Dia misalnya harus memberi tahu titik koordinat laut mana yang akan dia lewati menuju perairan Indonesia. Dan harus disiplin serta patuh.. Sebab selama pelayaran itu, radar TNI Angkatan Laut terus memantau perjalanannya.
"Lucitanio Expresso" diminta untuk jangan sekali-kali merubah manuvernya. Sebab hal itu bisa berdampak fatal. Prajurit TNI AL yang sudah meletakkan jarinya di pelatuk meriam misalnya, bisa saja langsung menembak sasaran bila muncul sebuah manuver yang tidak sesuai dengan yang disepakati.
Ada rasa puas dalam diri Yoost Mengko setelah terjadi kesepakatan dengan Dos Santos. Tapi kesepakatan itu baru bersifat sementara. Sehingga kesepakatan itu tetap tidak membuatnya tenang.
Sebab pelayaran dari Darwin menuju bagian Selatan Pulau Timor, memakan waktu lebih dari 6 jam. Sehingga menjelang waktu 6 jam setelah keberangkatan "Lucitanio Expresso", justru menjadi momen-momen yang menegangkan.
Terutama karena kawan-kawannya di kapal perang TNI AL, juga terus bersiaga dan dalam keadaan tegang.
Dan tiba-tiba, sebuah kejadian yang menegangkan pecah. Ketika dalam jarak yang sudah demikian dekat dengan wilayah Indonesia, mesin kapal "Lucitanio Expresso" tiba-tiba mati mendadak.
Pasukan Indonesia yang sedang siaga pun, tegang. Menunggu apa yang akan keluar dari kapal yang tiba-tiba mati mesin itu.
Kapten Marsetio yang berada di geladak kapal perang RI, langsung mengontak Dos Santos melalui pengeras suara.
Marsetio yang kelak menjadi Kepala Staf TNI AL ( 17 Desember 2012 - 31 Desember 2014), memerintahkan Dos Santos untuk menaikkan sebuah bendera yang menandakan, kapal sedang dalam keadaabn darurat.
Dan kepada kapten kapal Portugal itu oleh kapten Marsetio terus diberi waktu dalam hitungan menit sampai akhirnya dia harus berputar haluan membelakangi wilayah Indonesia.
Setelah itu Yoost Mengko kembali memantau perkembangan sampai "Lucitanio Expresso" kembali ke Darwin.
"Saya baru bisa tenang, ketika dia meninggalkan Darwin kembali ke Portugal", kisahnya.
Dalam perjalanan pulang tersebut, "Lucitanio Expresso" menyusuri pantai Selatan Pulau Jawa, terus ke arah Sumatera, melewati Kepulauan Nias.
Saat itu tiba-tiba Yoost Mengko mendapatkan pertanyaan dari awak kapal perang yang tidak jadi membunuh orang Portugal tersebut. Apakah mereka boleh mencegatnya di perjalanan dan menenggelamkan ke dasar laut.
Sebab rupanya ada juga niat tak terluapkan dari teman-teman Yoost Mengko yaitu untuk bisa membunuh warga Portugal.
"Oh jangan. Kita akan akan dikecam dunia intersional; Kita tidak punya alasan membunuhnya", jawab Mengko.
Itulah petikan dari kisah diplomasi dan perang urat syaraf yang sejauh ini tak pernah terjadi. Yang sumbernya bermuara dari kepemilikan sebuah wilayah.
Ketika "Lucitanio Expresso" itu berencana ke Timor Timur wilayah itu sudah menjadi bagian dari Indonesia. Pertarungan dengan Portugal dalam kepemilikan Timor Timur, kini Timor Leste, sudah dimenangkan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dimasukkannya Timor Timur sebagai Provinsi RI pada tahun 1976.
Tapi Portugal sebagai bekas penjajah, tidak mau menerima begitu saja.
Apalagi hingga tahun 1992 tersebut kedaulatan Indonesia atas Timor Timur tidak diakui atau belum oleh PBB. Bahkan Amerika Serikat, salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memveto legalitas kedaulatan Indonesia atas Timor Timur.
Padahal keputusan Indonesia menganeksasi Timor Timur tidak lepas dari dorongan Amerika Serikat. AS pada waktu itu dipimpin Presiden Gerald Ford.
Untuk menegaskan dukugan tersebut, Presiden Ford secara khusus menemui Presiden Soeharto di Jakarta, pada 5 Desember 1975.
AS berkepentingan atas masuknya Indonesia ke Timor Timur (Portuggis). Sebab AS yang baru kalah perang di Indochina pada April 1975, sangat khawatir jika Timor Portugis menjadi sarang komunis. Pasalnya Portugal pada tahun itu dikuasai oleh rezim komunis.
Akibat sikap AS yang mendua, kedaulatan Indonesia di Timor Timur secara hukum internasional bermasalah. Inilah yang kemudian dimanfaatkan Portugal, negara bekas penjajah di Timor Timur.
Selain menduanya sikap AS, Indonesia memiikikelemahan. Semenjak Timor Timur bergabung dengan Indonesia, ada saja permasalahan yang muncul di provinsi tersebut.
Yang paling sensitif adalah soal pelanggaran HAM.
Dan sebelum Indonesia menganeksasi Timor Timur secara damai, di wilayah itu terjadi sebuah pembunuhan atas 7 wartawan asing. Para wartawan tersebut berasal dari berbagai jkewargan negaraan tetap home-base mereka di Sydney atau Canberra, Australia.
Militer Indonesia kemudian dituding sebagai pembunuh para wartawan tersebut. Dalam, situasi ini empati Australia terhadap Indonesia relatif rendah.
Persoalan HAM dan pembunuhan wartawan belum terselesaikan, lantas di awal Desember 1991, terjadi insiden di pekuburan Santa Cruz, Dili.
Terjadi keributan antara demonstran anti-Indonesia dengan militer RI yang bertugas di Dili yang berujung pada terbunuhnya beberapa pemuda Timor Timur.
Media-media internasional menyebut peristiwa itu sebagai pembantaian di kota Dili atau "Massacre in Dili"
"Pembantaian" itu terjadi hanya selang 7 bulan Indonesia melaksanakan Pemilu di tahun 1992.
Secara politik konsentrasi pemerintah Indonesia terbelah.
Momentum inilah yang dimanfaatkan Portugal dengan mengirim kapal provokator "Lucitanio Expresso" pada Maret 1992.
Ketegangan pun merebak di Dili selama kurang lebih 3 hari penuh yaitu 9 - 11 Maret 1992. Indonesia berhasil memenangkan pertempuran tanpa senjata.
Sejak Agustus 1999, kemenangan itu menjadi tak berarti. Sebab Timor Timur terlepas dari NKRI setelah sebuah referendum dilaksanakan di wilayah itu dibawah pengawasan PBB.
Menjelang referendum Yoost Mengko kembali ditugaskan menangani persoalan Timor Timur. Dia menemui Xanana Gusmao, pejuang Timor yang dipenjara pemerintah RI di Rutan Cipinang Jakarta.
Bung Jose, demikian pinta Xanana kepada Yoos yang dia sapa dengan nama Portugal - seperti Jose Morinho.
"Lepaskan saya dari penjara dan bawa saya ke Dili. Beri saya kesempatan berpidato kepada rakyat Timor. Saya yakin mereka akan mendengar saya dan memilih tetap bersama Indonesia", pinta Xanana Gusmao.
Tapi permintaan putera Timor Timur tidak dikabulkan otoritas Jakarta. Hasilnya, melalui referendum, Timor Timur keluar dari NKRI dan Xanana menjadi Presiden pertama dari Timor Timur yang berganti nama menjadi Timor Leste.
Setelah Timor Timur merdeka, hubungan diplomatik RI - Portugal kembali dicairkan.
Perang diplomasi yang menggunakan kapal pesiar, tak ada lagi. Perang bentuk lainnya pun sudah tidak ada.
Yoost Mengko yang sudah pensiun seolah memendam rasa sesal. Karena pekerjaan berat yang pernah dilakukannya dan berhasil, akhirnya seperti tak membekas
Hidup tak dikenal mati tak dikenang. *****
Sumber : http://www.rmol.co/read/2016/10/18/264882/Cerita-Ringan-Dari-Seorang-Jebolan-CIA-