Panas Dingin Hubungan AS-Rusia, dari Proyek Misil Hingga Siap Perang - Radar Militer

20 Oktober 2016

Panas Dingin Hubungan AS-Rusia, dari Proyek Misil Hingga Siap Perang

Putin dan Obama
Putin dan Obama

Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia kini mendekati titik nadir. Kedua negara itu saling melempar tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan mulai bersiap-siap menghadapi kemungkinan perang.
Presiden Rusia Vladimir Putin diketahui sudah memerintahkan seluruh pejabat dan staf diplomatiknya untuk pulang. Tak hanya itu, dia juga telah menginstruksikan rakyat di negaranya untuk melaksanakan latihan evakuasi dan mempersiapkan bunker jika terjadi perang nuklir.
Kebijakan itu rupanya direspons keras oleh Pentagon. AS bahkan telah menetapkan status Defcon 3, yang berarti negara dalam keadaan waspada. Dengan status itu, AS bisa mengerahkan pesawat tempur dalam waktu 15 menit, dan bisa dikerahkan kapan saja.
Padahal, AS dan Rusia sempat memperbaiki hubungan mereka dengan kedatangan Presiden Barack Obama ke Moskow pada 2009 lalu. Saat itu, Obama menandatangani pengurangan senjata nuklir bersama Presiden Dmitry Medvedev.
Kembalinya Putin ke kursi kepresidenan membuat AS kembali terlibat ketegangan. Sejumlah tindakan yang dilakukan Rusia dan derasnya kritikan AS menjadikan kedua negara ini tak lagi mesra.
Kejadian-kejadian itu mengingatkan kembali ketika AS terlibat perang dingin dengan Uni Soviet. Keduanya berlomba untuk memodernisasi persenjataannya, termasuk membangun senjata nuklir. Baik AS maupun Soviet juga sama-sama bersaing dalam setiap konflik di dunia.
Berikut beberapa peristiwa yang membuat hubungan kedua negara panas dingin:
1. Proyek jaringan misil di perbatasan Eropa
Guna melindungi negaranya dari serangan misil, pemerintah AS merasa perlu membangun jaringan pertahanan di tanah Eropa. Pilihan itu jatuh ke Polandia, di mana negara tersebut berada di koordinat strategis dan diyakini bisa mencegah peluncuran misil dari Afrika Utara, Asia atau bahkan Rusia.
Pendekatan dimulai sejak tahun 2002, namun Polandia merasa keberatan dengan beberapa persyaratan yang diberikan AS. Sempat tarik ulur, akhirnya kedua negara sepakat untuk memulai pembangunan enam tahun berikutnya. Sementara, AS juga membangun radar di Republik Ceko.
Kebijakan itu ditentang keras oleh Rusia. Negara ini merasa dituduh sebagai ancaman bagi negara-negara Eropa, termasuk AS. Sebab, pertahanan itu dibangun di dekat perbatasan mereka.
Berbagai upaya dilakukan Rusia untuk mencegah pembangunan tersebut, termasuk melalui jalur diplomatik sekalipun. Alhasil, Presiden Medvedev berhasil mengundang Obama ke negaranya dan menandatangani perjanjian.
Setahun berikutnya, Obama memutuskan untuk membatalkan pembangunan sistem pertahanan di Eropa. Rusia menyambut baik keputusan itu.
2. Aneksasi Rusia di Krimea
Kepemimpinan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia menimbulkan ketegangan di negerinya. Setelah menggelar demonstrasi selama berbulan-bulan, rakyat Ukraina mendongkelnya dari kursi kepresidenan dan mengumumkan pemerintahan sementara.
Revolusi itu menimbulkan ketegangan di Krimea. Awal 2014 lalu, warga keturunan Rusia meminta wilayah itu lepas dari Ukraina, dan mengumumkan pemerintahan otonom.
Peristiwa itu memantik perhatian Rusia. Negara ini memandang penyerahan wilayah itu ke Ukraina sebagai sebuah kesalahan. Selang beberapa minggu usai revolusi di Ukraina, Rusia langsung menerjunkan militernya untuk merebut kantor-kantor pemerintahan dan gedung yang dinilai strategis.
Invasi itu berlangsung tanpa pertumpahan darah, dan Ukraina memilih tidak melakukan perlawanan. Meski begitu, Ukraina memprotes tindakan Rusia menganeksasi Krimea secara sepihak. AS dan negara-negara NATO ikut mengecam.
Kelompok oposisi anti-Ukraina memprokamirkan diri lepas dari Ukraina. Mereka juga menggelar referendum untuk menentukan nasib sendiri, atau bergabung dengan Rusia. Hasilnya, mayoritas warga Krimea menginginkan untuk bergabung dengan Rusia.
3. Perang saudara di Ukraina
Tak hanya soal Krimea, revolusi Ukraina juga menyebabkan ketegangan di bagian barat negerinya, terutama wilayah yang berbatasan langsung dengan Rusia. Warga keturunan Rusia menyatakan enggan mendukung pemerintahan baru, mereka ingin mengikuti jejak Krimea.
Berbeda dengan Krimea, Ukraina bertindak tegas terhadap wilayah-wilayah tersebut. Alhasil, warga pro-Rusia di Provinsi Donetsk dan Luhansk memilih angkat senjata, peralatan tempur mereka dipasok langsung oleh Rusia.
Tak hanya itu, Rusia dilaporkan menerjunkan pasukan elitenya untuk membantu kelompok separatis. Termasuk persenjataan modern yang diyakini bisa menghancurkan armada tempur Ukraina.
Akan tetapi, dalam keterangan resminya, Rusia membantah keterlibatannya. Mereka menyebut hanya melindungi warga yang pro terhadap Rusia.
Meski mengkritik dukungan Rusia tersebut, namun NATO dan Amerika Serikat tidak ikut serta dalam perang saudara tersebut. Hingga kini, perang masih berkecamuk di Ukraina.
4. Jatuhnya pesawat MH-17
Masyarakat seluruh dunia dikejutkan dengan jatuhnya pesawat milik maskapai Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-17 padad 17 Juli 2014 lalu. Apalagi, kejadian itu ditengarai bukan kecelakaan biasa, melainkan tembakan misil darat ke udara.
Berita jatuhnya pesawat itu langsung menjadi headline di semua media internasional. Ditambah lagi, pemimpin separatis pro-Rusia sempat berkicau mengenai keberhasilannya menembak jatuh pesawat yang dia kira sebagai pesawat tempur musuh di udara mereka, tak lama kemudian kicauan itu dihapus.
Baik AS maupun NATO langsung mengecam penembakan yang menewaskan 283 penumpang dan 15 kru. Namun, Rusia membela kelompok separatis, dan menuding Ukraina berada di balik peristiwa mengenaskan tersebut.
Setelah melakukan investigasi, investigator dari Kementerian Hukum Belanda menemukan fakta di mana pesawat Boeing 777-200ER tersebut jatuh akibat tembakan rudal. Mereka memastikan, rudal yang dipakai adalah jenis BUK.
Namun, temuan itu langsung dibantah oleh Rusia. Mereka malah membuat investigasi sendiri dan menyebut kecelakaan itu disebabkan militer Ukraina.
5. Keterlibatan konflik Suriah
Penembakan yang dilakukan pemerintahan Bashar al Ashad terhadap para pendemo menimbulkan reaksi keras dari AS dan sekutunya, NATO. Tanpa butuh lama, kaum oposisi mengangkat senjata, tindakan itu didukung penuh oleh AS.
Di tengah berkecamuknya perang saudara, muncul kelompok baru yang menamakan diri sebagai Negara Islam Irak dan Suriah atau disingkat (ISIS). Kelompok yang sebelumnya berafiliasi dengan Alqaedah itu memproklamirkan diri sebagai negara khalifah, dan menambah ketegangan di negeri tersebut.
Kemunculan mereka dimanfaatkan oleh Rusia. Dengan beralasan membasmi ISIS, Rusia menerjunkan pesawat tempur untuk menggempur posisi-posisi para pemberontak. Tindakan itu dikecam AS.
Setahun terlibat di Suriah, Rusia dan Suriah sepakat untuk gencatan senjata dengan kelompok pemberontak yang disokong AS. Namun, gencatan itu rusak setelah pesawat tempur AS mengebom posisi pasukan Assad yang sedang menggempur pertahanan ISIS.
Ketegangan diperparah dengan kritik AS dan Inggris atas pengeboman di Kota Aleppo serta berniat membawanya ke sidang PBB. Tindakan-tindakan itu membuat Rusia marah dan menyarankan warganya untuk bersiap-siap jika terjadi perang.
Sumber : https://www.merdeka.com/dunia/panas-dingin-hubungan-as-rusia-dari-proyek-misil-hingga-siap-perang/keterlibatan-konflik-suriah.html



Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb