Operasi Seroja |
Provinsi Timor Timur lepas dari NKRI berdasar hasil referendum 1999. Kini, hati Sukarno remuk. Ia teringat 12 sahabat yang gugur di Bumi Loro Sae.
Tahun 1976, Sukarno dan Nanang Achmad dari Batalyon 600 Raiders dikirim ke perbatasan Indonesia dan Timor Timur.
Bergabung dalam operasi militer dengan nama sandi 'Seroja', dia dikirim ke Timor Timur.
Batalyon 600 Raiders adalah cikal bakal Batalyon Infanteri 623 yang bermarkas di Sungai Ulin, Banjarbaru.
Menyandang status sukarelawan, keduanya ditugaskan di regu STTB (Senjata Tanpa Tolak Balik). Ini regu senjata berat, bekalnya dari bazoka sampai mortir. Spesialis penghancur tank, markas dan garis pertahanan musuh.
Disuplai informasi intel di lapangan, lazimnya dalam sandi Morse, regu menandai kubu musuh di peta.
Dalam jarak sekian kilometer roket diluncurkan. Setelah hancur, barulah pasukan darat menyapu lokasi.
"Kalau roketnya meluncur bareng, bunyinya seperti serbuan tawon, wung-wung-wung," kata Sukarno.
Ia lahir di Kediri pada 8 Oktober 1956. Ikut sang kakak, Sukarno menetap di Banjarmasin pada tahun 1968. Sementara Nanang lahir di Banjarmasin pada 18 Agustus 1956.
Salah satu senjata andalan regu STTB adalah BO-10. Bobotnya mencapai 152 kilogram. Karena mustahil menariknya melewati gunung dan hutan, senjata itu harus dibongkar.
Lalu dirakit ulang setiba di lokasi pertempuran. "Karena masih muda dan kuat, kami jadi kuda pemikul beban," imbuhnya tertawa.
Jika dibongkar, dari kuda-kuda sampai laras, diperoleh empat bagian. Beban puluhan kilogram itu dipikul bergantian.
Belum termasuk peluru, satu peluru beratnya hampir enam kilogram. Satu personel diwajibkan memanggul empat peluru.
"Jadi di badan ada peluru seberat 24 kilogram, ditambah ransel berisi baju dan ransum," ujarnya.
Sukarno lima kali bolak-balik bertugas ke Timor Timur, sedangkan Nanang empat kali. Tugas yang paling dikenang Nanang adalah perebutan Gunung Ramelau di Distrik Ainaro.
Gunung itu sekarang terkenal dengan objek wisata patung Bunda Maria di puncaknya.
"Kami dipimpin kapten asal Manado, namanya Worang Arnold," kisahnya. Gunung itu basis Fretelin, partai politik yang berafiliasi dengan Portugis dan menolak berintegrasi dengan Indonesia.
Selama dua bulan regu SSTB menggempur gunung setinggi 2.963 meter tersebut.
Tak hanya bertahan dari peluru, mereka juga harus menahan suhu dingin menggigit. "Minyak tanah yang kami bawa sampai beku," tambahnya.
Pernah pula mereka ditugaskan membebaskan Tim Nanggala dari Kopassus yang dikepung Fretelin. Karena itu pula regu SSTB juga disebut Banpur (Bantuan Tempur).
Rahasia pasukan Indonesia untuk bertahan di Timor Timur adalah pasukan lokal. Merekrut pemuda setempat yang orang tuanya dibunuh Fretelin.
Pasukan Indonesia memberi mereka kesempatan membalas dendam. "Awalnya kami suruh mencari kayu bakar dan makanan, bantu logistik. Belakangan kami didik bertempur," jelas Sukarno.
Selepas reformasi banyak diterbitkan analisa, fakta baru dan bahkan teori konspirasi yang menyudutkan Operasi Seroja.
Pembebasan Timor Timur disamakan dengan upaya penjajahan. "Seolah-olah kami ini Belanda versi baru bagi Indonesia," ucapnya.
Namun, akademisi, jurnalis atau politisi boleh bicara macam-macam. Toh, yang dihadapi Sukarno dan Nanang adalah nyata.
Darah yang mereka lihat warnanya merah. "Perang yang Anda lihat di film, brutal dan mencekam, seperti itulah yang kami hadapi," tegasnya.
Dibentuk tahun 1974, Batalyon 600 Raiders berisi 74 serdadu. Dua belas dinyatakan gugur, sisanya terluka. Tak sedikit yang cacat seumur hidup.
Sukarno lantas melepas sepatu sebelah kiri. Ia menunjukkan bekas tusukan di telapak betisnya. Luka itu ia peroleh saat coba merebut sepeda motor musuh. "Ini cinderamata saya," tukasnya.
Berisi Suku Banjar, Dayak, Jawa dan Manado, korban tewas di Batalyon 600 Raiders terbilang amat sedikit.
Mereka percaya ada unsur mistis yang menyelamatkan mereka. "Berangkat dari tanah Banjar kami dikuntit dan dilindungi roh Pangeran Suryanata," ujarnya yakin.
Beranjak ke masa kini, keduanya menjadi anggota Dewan Pimpinan Cabang LVRI Banjarmasin. Ketua LVRI, Kaspul Anwar Syahdan kebetulan salah seorang komandan di Operasi Seroja.
Saat referendum digelar tahun 1999 dan Timor Timur melepaskan diri menjadi Republik Demokratik Timor Leste tahun 2002, apa yang Sukarno rasakan?
"Saya sakit hati. Terlalu banyak yang mengorbankan nyawa di sana," jawabnya. (fud/by/ran)SYARAFUDDIN, Banjarmasin
Sumber : http://www.jpnn.com/news/brutal-dan-mencekam-itulah-yang-kami-hadapi?page=5
Tahun 1976, Sukarno dan Nanang Achmad dari Batalyon 600 Raiders dikirim ke perbatasan Indonesia dan Timor Timur.
Bergabung dalam operasi militer dengan nama sandi 'Seroja', dia dikirim ke Timor Timur.
Batalyon 600 Raiders adalah cikal bakal Batalyon Infanteri 623 yang bermarkas di Sungai Ulin, Banjarbaru.
Menyandang status sukarelawan, keduanya ditugaskan di regu STTB (Senjata Tanpa Tolak Balik). Ini regu senjata berat, bekalnya dari bazoka sampai mortir. Spesialis penghancur tank, markas dan garis pertahanan musuh.
Disuplai informasi intel di lapangan, lazimnya dalam sandi Morse, regu menandai kubu musuh di peta.
Dalam jarak sekian kilometer roket diluncurkan. Setelah hancur, barulah pasukan darat menyapu lokasi.
"Kalau roketnya meluncur bareng, bunyinya seperti serbuan tawon, wung-wung-wung," kata Sukarno.
Ia lahir di Kediri pada 8 Oktober 1956. Ikut sang kakak, Sukarno menetap di Banjarmasin pada tahun 1968. Sementara Nanang lahir di Banjarmasin pada 18 Agustus 1956.
Salah satu senjata andalan regu STTB adalah BO-10. Bobotnya mencapai 152 kilogram. Karena mustahil menariknya melewati gunung dan hutan, senjata itu harus dibongkar.
Lalu dirakit ulang setiba di lokasi pertempuran. "Karena masih muda dan kuat, kami jadi kuda pemikul beban," imbuhnya tertawa.
Jika dibongkar, dari kuda-kuda sampai laras, diperoleh empat bagian. Beban puluhan kilogram itu dipikul bergantian.
Belum termasuk peluru, satu peluru beratnya hampir enam kilogram. Satu personel diwajibkan memanggul empat peluru.
"Jadi di badan ada peluru seberat 24 kilogram, ditambah ransel berisi baju dan ransum," ujarnya.
Sukarno lima kali bolak-balik bertugas ke Timor Timur, sedangkan Nanang empat kali. Tugas yang paling dikenang Nanang adalah perebutan Gunung Ramelau di Distrik Ainaro.
Gunung itu sekarang terkenal dengan objek wisata patung Bunda Maria di puncaknya.
"Kami dipimpin kapten asal Manado, namanya Worang Arnold," kisahnya. Gunung itu basis Fretelin, partai politik yang berafiliasi dengan Portugis dan menolak berintegrasi dengan Indonesia.
Selama dua bulan regu SSTB menggempur gunung setinggi 2.963 meter tersebut.
Tak hanya bertahan dari peluru, mereka juga harus menahan suhu dingin menggigit. "Minyak tanah yang kami bawa sampai beku," tambahnya.
Pernah pula mereka ditugaskan membebaskan Tim Nanggala dari Kopassus yang dikepung Fretelin. Karena itu pula regu SSTB juga disebut Banpur (Bantuan Tempur).
Rahasia pasukan Indonesia untuk bertahan di Timor Timur adalah pasukan lokal. Merekrut pemuda setempat yang orang tuanya dibunuh Fretelin.
Pasukan Indonesia memberi mereka kesempatan membalas dendam. "Awalnya kami suruh mencari kayu bakar dan makanan, bantu logistik. Belakangan kami didik bertempur," jelas Sukarno.
Selepas reformasi banyak diterbitkan analisa, fakta baru dan bahkan teori konspirasi yang menyudutkan Operasi Seroja.
Pembebasan Timor Timur disamakan dengan upaya penjajahan. "Seolah-olah kami ini Belanda versi baru bagi Indonesia," ucapnya.
Namun, akademisi, jurnalis atau politisi boleh bicara macam-macam. Toh, yang dihadapi Sukarno dan Nanang adalah nyata.
Darah yang mereka lihat warnanya merah. "Perang yang Anda lihat di film, brutal dan mencekam, seperti itulah yang kami hadapi," tegasnya.
Dibentuk tahun 1974, Batalyon 600 Raiders berisi 74 serdadu. Dua belas dinyatakan gugur, sisanya terluka. Tak sedikit yang cacat seumur hidup.
Sukarno lantas melepas sepatu sebelah kiri. Ia menunjukkan bekas tusukan di telapak betisnya. Luka itu ia peroleh saat coba merebut sepeda motor musuh. "Ini cinderamata saya," tukasnya.
Berisi Suku Banjar, Dayak, Jawa dan Manado, korban tewas di Batalyon 600 Raiders terbilang amat sedikit.
Mereka percaya ada unsur mistis yang menyelamatkan mereka. "Berangkat dari tanah Banjar kami dikuntit dan dilindungi roh Pangeran Suryanata," ujarnya yakin.
Beranjak ke masa kini, keduanya menjadi anggota Dewan Pimpinan Cabang LVRI Banjarmasin. Ketua LVRI, Kaspul Anwar Syahdan kebetulan salah seorang komandan di Operasi Seroja.
Saat referendum digelar tahun 1999 dan Timor Timur melepaskan diri menjadi Republik Demokratik Timor Leste tahun 2002, apa yang Sukarno rasakan?
"Saya sakit hati. Terlalu banyak yang mengorbankan nyawa di sana," jawabnya. (fud/by/ran)SYARAFUDDIN, Banjarmasin
Sumber : http://www.jpnn.com/news/brutal-dan-mencekam-itulah-yang-kami-hadapi?page=5