ISIS |
Raja Arab Saudi, Salman Abdulaziz, Rabu (23/12/2015), menuding Presiden Suriah Bashar al-Assad ikut membantu kemunculan kelompok Islam Irak dan Suriah atau ISIS.
Raja Salman pun menyerukan penyelesaian politik dengan kekuatan moderat untuk mengakhiri perang di Suriah.
Solusinya adalah dengan membentuk pemerintahan transisi yang terdiri dari kekuatan oposisi moderat, memastikan persatuan rakyat Suriah, dan hengkangnya pasukan asing serta organisasi teroris. Demikian kata Salman dalam pidato tahunan kepada dewan syura atau dewan penasihat.
Menurut Salman, organisasi-organisasi teroris tidak akan menemukan lahan subur di Suriah jika bukan karena kebijakan rezim Assad, yang telah membunuh ratusan ribu orang dan memaksa jutaan orang mengungsi.
Lebih dari 250.000 orang terbunuh di Suriah sejak konflik tersebut pecah pada Maret 2011.
Kerajaan Arab Saudi, yang menjadi pendukung kunci kelompok oposisi Suriah, berkali-kali mendesak agar Assad turun dari jabatan presiden.
Awal bulan ini, Riyadh menjadi tuan rumah pertemuan kelompok politik dan kelompok bersenjata Suriah yang setuju bernegosiasi dengan rezim Asaad. Mereka meminta Assad mundur sebagai syarat untuk proses transisi politik.
Arab Saudi menyerukan solusi politis untuk mengakhiri krisis Suriah. Demikian kata Raja Salman yang bulan ini akan menginjak usia 80 tahun.
Dalam pidatonya, Raja Salman hanya membacakan sebagian dari teks. Sementara itu, seluruh teks pidatonya sudah diterbitkan di media resmi Arab Saudi, SPA.
Pada November lalu, menteri luar negeri dari negara-negara yang mendukung dan menentang rezim Assad setuju atas sebuah skema untuk mengakhiri konflik di Suriah.
Mayoritas Warga Arab Benci ISIS
Sebuah survei baru terhadap lebih dari 18.000 orang Arab di 12 negara Timur Tengah mendapati bahwa mayoritas besar dari mereka memiliki pandangan negatif terhadap kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS yang telah banyak meneror negara mereka.
Pusat Arab untuk Penelitian dan Kebijakan yang berbasis di Doha, Qatar, mengatakan bahwa 80 persen dari responden yang disurvei melalui wawancara tatap muka di seluruh Timur Tengah menyatakan pandangan yang negatif terhadap kelompok ISIS yang telah memproklamirkan kekhalifahan di Irak dan Suriah.
Sementara 9 persen lainnya mengatakan bahwa mereka melihat kelompok ISIS memiliki sisi negatif "pada batas-batas tertentu."
Survei itu dilakukan di 12 negara antara bulan Mei hingga September tahun ini, di antaranya untuk mengukur sentimen publik terhadap kelompok militan dan perang saudara yang sudah berlangsung hampir lima tahun di Suriah.
Hasil survei itu "tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara dukungan terhadap ISIS dengan sentimen keaagamaan," para peneliti menjelaskan pada website lembaga di Doha tersebut.
"Pandangan responden yang positif terhadap ISIS bisa ditemukan di kalangan responden yang 'sangat religius' dan mereka yang 'tidak religius' secara merata. Demikian juga antara mereka yang mendukung negara syariah (berdasarkan hukum agama) dengan pendukung negara sekuler," kata para peneliti.
Para peneliti menyimpulkan bahwa dukungan terhadap organisasi-organisasi ekstremis radikal di dunia Arab, berakar pada keluhan terhadap situasi politik dan konflik di negara-negara Arab, dan bukan berakar pada ideologi agama.
Para peneliti juga mengatakan bahwa secara keseluruhan pandangan negatif responden terhadap kelompok militan ISIS dengan persentase tertinggi ada di Lebanon (99 persen), disusul oleh Yordania dan Irak (97 persen), Tunisia (96 persen), Arab Saudi (95 persen) dan Kuwait (90 persen).
Hasil survei menunjukkan pandangan negatif terhadap ISIS yang "terendah" dari 12 negara yang disurvei ada di Mauritania (74 persen), Aljazair dan Maroko (keduanya 83 persen), Mesir dan Sudan (keduanya 84 persen) dan Palestina (87 persen).
Sumber : http://internasional.kompas.com/read/2015/12/23/23041441/Arab.Saudi.Tuding.Assad.sebagai.Penyebab.Munculnya.ISIS