Indonesia Fighter Xperiment |
Semua bermula dari Korea Selatan, negeri yang memendam konflik 'abadi' dengan saudaranya, Korea Utara.
“Sepuluh tahun dari sekarang, Korea Selatan akan menjadi satu dari produsen senjata dan kedirgantaraan dunia bersama Amerika Serikat, Rusia, dan China.”
Perkataan yang menggambarkan ambisi dan tekad Korea Selatan menggarap proyek pesawat tempur itu diucapkan oleh seorang pejabat lembaga pengadaan pertahanan Korsel, Defence Acquisition Program Administration (DAPA), pada 2014.
Niat Korea Selatan mengembangkan jet tempur kelas berat yang kini dikenal dengan sebutan Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X), diumumkan pertama kali Maret 2001 oleh Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung pada wisuda Akademi Angkatan Udara negeri itu.
Melalui proyek tersebut, Korea Selatan hendak menciptakan pesawat tempur multiperan canggih untuk menggantikan armada McDonell Douglas F-4 Phantom II dan Northrop F-5F Tiger II milik Angkatan Udara mereka yang kian usang.
KF-X bukan proyek pesawat tempur pertama Korea Selatan. Sebelumnya, Negeri Ginseng telah sukses membuat pesawat latih dasar KT-1 Woongbi yang 100 persen buatan mereka sendiri, juga jet tempur ringan T-50 Golden Eagle hasil pengembangan Korea Aerospace Industries dengan raksasa dirgantara AS Lockheed Martin.
Pengalaman membuat T-50 Golden Eagle membuat Korea Selatan percaya diri memulai proyek KF-X yang lebih sulit. Pun, negara yang kerap berseteru dengan Korea Utara itu memiliki sekitar 63 persen teknologi yang diperlukan untuk memproduksi pesawat tempur multiperan.
Meski demikian, 63 persen penguasaan teknologi tak menjamin KF-X bakal sukses. Korea Selatan lantas mencari mitra. Korsel berharap menemukan mitra asing yang dapat mendanai 40 persen dari total biaya pengembangan KF-X, sementara pendanaan mayoritas sebanyak 60 persen mereka tanggung.
Korea Selatan mengincar beberapa perusahaan sebagai calon mitra, mulai PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Turkish Aerospace Industries, perusahaan pertahanan dan dirgantara Swedia Saab, pabrik pesawat AS Boeing, sampai Lockheed Martin AS.
Keputusan Korea Selatan memasukkan Indonesia sebagai mitra, menurut Kepala Program KF-X/IF-X PTDI Heri Yansyah, bukan tanpa alasan dan tak terjadi dengan tiba-tiba. Saling percaya antardua negara terentang sejak tahun 2006.
“Tahun 2006 Presiden Indonesia dan Korea Selatan pernah menandatangani Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Strategis untuk Mempromosikan Persahabatan dan Kerja Sama antara Republik Indonesia dan Republik Korea,” kata Heri sewaktu diwawancarai, (19/2).
Penandatanganan tersebut berlangsung saat Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun berkunjung ke Indonesia pada 4 Desember 2006. Deklarasi yang diteken Roh dan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu mengatur bahwa kedua negara akan saling melengkapi satu sama lain.
Tahun 2008, Korea Selatan menawarkan kerja sama ke Indonesia untuk mengembangkan jet tempur. Tahun berikutnya, 2009, kedua negara meneken Letter of Intent.
“Korea saat itu sudah melakukan feasibility study (studi kelayakan), dan mencoba mengajak Indonesia dan Turki karena mengembangkan pesawat tempur kan mahal,” ujar Heri yang ikut ke Korea Selatan pada 2011-2012 untuk mengerjakan fase pengembangan konsep KF-X/IF-X.
Pun mengembangkan pesawat tempur berisiko tinggi. “Selain biaya pengembangan mahal, setelah jadi pasarnya susah. Tapi kalau kerja sama antarnegara, minimal pangsa pasarnya sudah ada,” kata Heri.
Tahun 2010, Indonesia melakukan studi kelayakan dan audit atas tawaran kerja sama Korea Selatan mengembangkan jet tempur.
“Untuk memutuskan bilang ‘iya’, kedua negara melakukan audit teknologi. Indonesia mengaudit Korea, Korea mengaudit Indonesia. Dari hasil audit itu, terlihat Korea punya kemampuan dan Indonesia juga memiliki kemampuan tapi perlu ditingkatkan. Barulah masing-masing negara saling berkomitmen,” kata Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Republik Indonesia, Eris Herryanto.
Juli 2010, Indonesia sepakat untuk mendanai 20 persen biaya proyek KF-X dengan imbalan mendapat 50 unit pesawat tersebut setelah proyek selesai. Dua bulan kemudian, September 2010, Indonesia mengirim tim hukum dan pakar penerbangan ke Korea untuk membahas masalah hak cipta pesawat.
Di tengah proses yang berlangsung antara Korea Selatan dan Indonesia itu, pada 7 September 2010, Defence Acquisition Program Administration (DAPA) Korsel mengatakan Turki tertarik untuk bergabung.
Namun delapan hari kemudian, 15 Desember, pejabat senior Turki mengatakan negaranya membatalkan niat untuk berpartisipasi pada proyek KF-X.
Pada bulan yang sama, proyek KF-X diubah dari ‘sekadar’ pesawat tempur sekelas F-16 Fighting Falcon menjadi jet siluman (stealth fighter). Perubahan ini terkait eskalasi konflik antara Korea Selatan dengan Korea Utara.
Tahun 2010 itu, Indonesia dan Korea Selatan meneken nota kesepahaman soal KF-X.
April 2011, DAPA mengumumkan penandatanganan kesepakatan antara Korea Selatan dan Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur. Fase awal proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep, pun dimulai.
Saling butuh, saling untung
Sejak awal menawarkan proyek jet tempur kepada Indonesia, ujar Eris, Korea Selatan mengatakan tak bisa mengembangkan KF-X sendirian. Terlebih di kemudian hari K-FX berubah menjadi proyek ambisius berupa pengembangan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan siluman untuk menghilang di radar.
Pesawat generasi ini bakal lebih hebat dari Dassault Rafale asal Perancis, Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa, dan F-16 Fighting Falcon produksi AS, serta setara dengan Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
“Korea butuh Indonesia. Korea memilih Indonesia karena Indonesia sudah punya kemampuan dalam membuat pesawat meski untuk jenis kecil seperti CN-212, CN-235, helikopter. Indonesia pun sudah memiliki fasilitas pabrik pesawat. Itu sebabnya Korea mengajak Indonesia,” kata Eris.
Indonesia dan Korea Selatan memiliki sejarah panjang kerja sama, termasuk di bidang industri pertahanan.
“Ada kerja sama soal kapal selam, propelan untuk roket, dan lain-lain. Jadi bukan pesawat tempur saja,” ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Anne Kusmayati.
Korea Selatan juga merupakan konsumen PTDI. Negeri itu bahkan membeli selusin atau 12 unit pesawat CN-235 buatan PTDI untuk berbagai keperluan, mulai digunakan sebagai alat transportasi militer, angkutan bagi very very important person (VVIP), sampai pesawat intai maritim.
Sebaliknya, Indonesia membeli pesawat-pesawat tempur buatan Korea Selatan. TNI AU memiliki armada KT-1 Woongbi dan T-50 Golden Eagle masing-masing satu skuadron.
“Ekspor pertama kedua pesawat itu ke Indonesia. Indonesia jadi pelanggan internasional pesawat Korea Selatan,” kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Soal kerja sama pengembangan KF-X, tak hanya Korea Selatan yang butuh Indonesia sebagai mitra. Indonesia pun mengincar transfer teknologi dari Korsel.
“Korea terbuka untuk transfer of technology. Korea juga konsisten dalam strategi pembangunan dan pengembangan industrinya. Indonesia butuh Korea, Korea butuh Indonesia. Saling menguntungkan,” kata Anne.
Kala itu, ujar Anne, Presiden SBY melihat tawaran Korea Selatan sebagai kesempatan. “Dia melihat Korea sebagai negara yang konsisten mengembangkan industrinya.”
Dengan menerima tawaran Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur, kata Heri, Indonesia juga jadi bisa menguasai teknologi upgrading.
“Target Indonesia ialah mencapai kemandirian. Minimal Indonesia mampu untuk melakukan upgrading, tidak hanya pada KF-X/IF-X, tapi semua jet tempur yang dimiliki TNI AU sehingga seluruh pesawat bisa menggunakan teknologi terbarukan,” kata Heri.
Direktur PTDI Budi Santoso mengamini peran Korea Selatan dan Indonesia yang saling membutuhkan. Saat ini, ujarnya, Indonesia punya kesempatan untuk belajar sekaligus bekerja bersama Korea Selatan.
“Ada bidang tertentu di mana Indonesia lebih maju dari Korea, contohnya waktu dulu kami (Indonesia dan Korsel) mengerjakan struktur aerodinamik pesawat (pada fase pertama KF-X/IF-X). Tapi soal elektronik, Korea lebih jago dari Indonesia. Mereka punya banyak perusahaan elektronik seperti Samsung, LG, dan lain-lain,” kata Budi.
Jalan bagi Korea Selatan dan Indonesia untuk mewujudkan KF-X/IF-X masih jauh dari selesai. Saat ini kedua negara baru akan memasuki fase kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan rekayasa manufaktur atau pembuatan prototipe.
Incar Teknologi Jet Tempur, Indonesia Hendak Beri Efek Gentar
The most broken up nation in the world. Itulah salah satu julukan Soekarno untuk Indonesia. Dengan 14 ribu lebih pulau berserak dan panjang garis pantai 99 ribu kilometer, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia yang secara maritim berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Palau, dan Australia.
“Indonesia merupakan negara besar dengan daratan dan lautan begitu luasnya. Tentu harus punya kemampuan laut dan udara yang andal. Harus,” kata Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu usai menyaksikan penandatanganan kontrak kerja sama pembuatan protipe pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) antara Indonesia dan Korea Selatan di Jakarta, 7 Januari.
Kekuatan mumpuni di laut dan udara sebagai negara maritim itu menjadi salah satu alasan pemerintah Republik Indonesia mendukung proyek pengembangan jet tempur siluman (stealth fighter) KF-X/IF-X yang diinisiasi Korea Selatan.
Ada 1.001 alasan dukungan Indonesia atas KF-X/IF-X. Lima di antaranya untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI Angkatan Udara, membangun kemandirian bangsa, meningkatkan industri pertahanan, mendorong perekonomian nasional, dan memunculkan efek gentar pada kawasan.
Bukan rahasia lagi wilayah udara dan perairan Indonesia yang luas kerap diterobos oleh pesawat dan kapal asing. Maka jika Indonesia telah menguasai teknologi pengembangan dan upgrading pesawat tempur, kedaulatan RI diharapkan lebih terjaga.
“Ini (memiliki teknologi pesawat tempur) jelas detterent effect buat negara-negara tetangga Indonesia, bahwa Indonesia sudah mampu mengembangkan dan upgrading pesawat tempur yang state of the art secara teknologi. Artinya, nanti (semua pesawat tempur milik Indonesia) akan memakai teknologi yang selalu terbarukan,” kata Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia Heri Yansyah.
Menguasai teknologi jet tempur, tegas Heri, tak berhubungan dengan niat menyerang. “Ini bukan soal menyerang, tapi membuat negara-negara lain berpikir kalau mau bermaksud buruk kepada Indonesia. Itu targetnya.”
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI Anne Kusmayati menyatakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) telah menetapkan tujuh program nasional untuk membangun kemandirian industri pertahanan.
Ketujuh program nasional itu ialah pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, pembangunan kapal selam, pembangunan industri propelan, pengembangan roket, pengembangan rudal, pengembangan radar, dan pengembangan tank sedang serta berat.
KKIP sendiri merupakan komite yang mewakili pemerintah RI untuk mengoordikasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan. KKIP diketuai langsung oleh Presiden.
KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui KKIP, Indonesia hendak membangun pertahanan negara yang kuat, maju, dan mandiri melalui dukungan industri pertahanan dalam negeri yang tangguh.
Kapok diembargo
Wakil Ketua KKIP Eris Herryanto mengatakan Indonesia bercita-cita dapat memenuhi alutsista secara mandiri karena, antara lain, punya pengalaman buruk diembargo 10 tahun oleh Amerika Serikat.
“Dari 1995 sampai 2005, Indonesia diembargo oleh Amerika. Sepuluh tahun diembargo, kerusakannya sangat besar terhadap kekuatan tempur Indonesia. Kesiapan Indonesia merosot tajam karena tidak boleh beli suku cadang dan segala macam,” ujar mantan penerbang TNI Angkatan Udara itu.
Pada periode itu, AS tidak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari negeri itu. AS juga menyetop penjualan senjata ke Indonesia.
AS saat itu menerapkan embargo militer dengan alasan Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam kerusuhan di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991 ketika sejumlah demonstran ditembaki tentara Indonesia.
“Puncak embargo 26 Desember 2004 saat tsunami menghantam Aceh. Mestinya TNI membantu masyarakat Aceh, tapi saat itu hanya ada satu pesawat Hercules yang siap. Walau ada pesawat lainnya, tapi tidak siap karena dampak dari embargo itu,” kata Eris.
Pengalaman pahit itu, menurut Eris, menjadi salah satu landasan pemikiran bahwa Indonesia di masa depan harus punya peralatan yang bisa didukung oleh negara ini sendiri, tak tergantung pada pihak asing. “Intinya, mandiri.”
Kemandirian industri pertahanan, kata Eris, juga dapat mendorong perekonomian nasional secara signifikan, sebab produksi alutsista akan menyerap tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Penjualan alutsista akhirnya menjadi sumber pemasukan bagi negara.
“Kalau kita lihat Amerika, 60 persen lebih ekonominya didukung oleh industri pertahanan,” ujar mantan Panglima Komando Pertahanan Nasional RI itu.
Indonesia, kata Eris, saat ini pun mulai menggerakkan industri pertahanannya. “Indonesia sudah menjual ke Filipina kapal SSV (strategic sealift vessel) yang diluncurkan 18 Januari kemarin. Kapal hasil kerja BUMN (PT PAL Indonesia) itu diekspor. Ekonomi negara jadi terbantu dari PT PAL.”
Ini kali pertama Indonesia mengekspor kapal perang. Satu unit kapal SSV buatan PT PAL dihargai US$45 juta. Kapal yang terdiri dari 621 kamar itu bisa melaju dengan kecepatan 16 knot, mampu berlayar tanpa mengisi bahan bakar selama tiga hari, dan dilengkapi meriam sesuai pesanan Filipina.
Berbekal visi mandiri itu, Indonesia melihat tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan pesawat tempur sebagai kesempatan bagus.
“Indonesia bayar 20 persen dari total biaya yang dibutuhkan, tapi bisa dapat 90 persen teknologi,” kata Direktur Utama PTDI Budi Santoso.
Ada perbedaan misi Indonesia dan Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur. “Korea Selatan tentu berpikir soal (konfliknya dengan) Korea Utara, Indonesia beda lagi,” kata Budi.
Tujuan utama Indonesia ialah agar dapat melakukan upgrading atau peningkatan teknologi pada seluruh pesawat yang dimiliki TNI. Dengan demikian, semua armada udara Indonesia akan selalu menggunakan teknologi terbarukan.
“Sebab meski mesin dan struktur badan pesawat bisa bertahan sampai 20-40 tahun, sistem elektroniknya mesti di-upgrade ini dan itu,” ujar Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisjahbana.
Beda motivasi Indonesia dan Korea Selatan ditambah perbedaan kondisi lapangan kedua negara, membuat dua belah pihak perlu waktu cukup panjang untuk menyamakan persepsi hingga berujung pada penandatanganan kontrak tahap kedua proyek KF-X/IF-X, yakni pembuatan prototipe pesawat.
“Ini titik awal kerja sama ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan. Saya bertanggung jawab penuh dan optimistis proyek ini akan sukses,” kata Kepala Administrasi Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan, Chang Myoung-jin, sesaat setelah meneken kontrak kerja sama dengan Indonesia di Jakarta.
Buat Jet Tempur, Indonesia Siapkan Sumber Daya Besar-Besaran
“Pesawat tempur itu seperti ponsel. Teknologinya dalam setahun sudah berubah lebih canggih, apakah itu menyangkut sistem elektronik, sensor, atau senjata.”
Heri Yansyah, Kepala Program Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X) PT Dirgantara Indonesia.
“Jadi Indonesia harus mampu melakukan upgrading teknologi yang selalu berubah ini. Kalau tidak punya kemampuan upgrade, lalu beli pesawat yang sama dengan negara-negara tetangga, maka dalam waktu dua-tiga tahun, Indonesia sudah kalah,” ujar Heri.
Meski membandingkan pesawat tempur dengan ponsel, untuk membuatnya jauh dari kata mudah. Perlu waktu 10 tahun lebih mengembangkan KF-X/IF-X yang dirancang menjadi jet tempur multiperan generasi 4,5 dengan teknologi mendekati kemampuan pesawat siluman (stealth fighter) generasi 5.
Sejak mesin jet pertama kali dikembangkan tahun 1946, pesawat tempur telah berevolusi hingga generasi kelima. Generasi termutakhir ini menggabungkan teknologi siluman untuk tak terdeteksi radar, kemampuan menjelajah supersonik, dan sensor baru yang terintegrasi.
Satu-satunya persawat tempur generasi 5 yang kini telah beroperasi adalah F-22 Raptor buatan Lockheed Martin AS. Sementara sejumlah jet lain dari generasi itu seperti F-35 Lighting II dan Sukhoi PAK FA, masih pada tahap uji coba.
Untuk membuat prototipe KF-X/IF-X, ilmuwan Indonesia dan Korea Selatan akan bekerja bahu-membahu di markas Korea Aerospace Industries di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan.
“Saat puncak pembuatan prototipe pesawat, 200 insinyur Indonesia akan terlibat,” kata Heri yang pada periode 2011-2012 ikut ke Korea Selatan selama 18 bulan untuk mengerjakan fase pertama proyek KF-X/IF-X, yakni pengembangan konsep.
Jumlah insinyur Indonesia yang berangkat ke Korea Selatan pada penggarapan fase kedua – pembuatan prototipe– mulai tahun 2016 ini jauh lebih banyak daripada fase pertama yang hanya berjumlah 52 orang.
Para ilmuwan Indonesia itu akan berdatangan ke Korea Selatan secara bertahap dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. “Ada insinyur yang harus tinggal di sana selama 10 tahun penuh, tapi ada juga yang dirotasi,” ujar Heri.
Bangun fasilitas
Di dalam negeri, Indonesia mengebut persiapan sumber daya manusia dan teknologi, mulai dari riset soal teknologi inti mesin jet tempur, material, avionik, aeroninamika, hingga membangun laboratorium untuk menunjang riset tersebut.
Selain itu, meski penggarapan KF-X/IF-X dipusatkan di Korea Selatan, markas PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa Barat, bakal tak kalah sibuk. PTDI akan memantau seluruh pengerjaan pesawat tempur tersebut.
PTDI misalnya menyiapkan Design Center Indonesia (DCI) untuk membangun kemampuan teknologi, infrastruktur, dan simulasi. Di tempat ini, seluruh tahap pengerjaan KF-X/IF-X di Korea Selatan akan dikomunikasikan.
DCI merupakan mirroring dari gedung Design Center yang juga dibangun di Sacheon, Korea Selatan. Design Center di Sacheon semacam bangunan yang tertutup rapat dan steril. Orang-orang yang memasukinya dilarang membawa flashdisk dan komputer. Di sana ilmuwan Indonesia dan Korsel akan kerja bersama.
Indonesia juga kebagian tugas membuat komponen pesawat bagian sayap dan ekor kanan, serta penguat di bawah sayap.
Pun, Indonesia mendapat jatah untuk membuat prototipe pesawat. Total ada delapan prototipe yang akan dibuat enam prototipe terbang, dan dua prototipe tak terbang untuk uji struktur.
“Prototipe kelima akan dibuat di sini,” ujar Heri. “Kenapa mesti yang kelima? Karena Indonesia baru pertama kali ini mengembangkan pesawat tempur. Untuk prototipe pertama dan kedua, Indonesia belum siap,” imbuh pakar aerodinamika PTDI itu.
Oleh sebab itu PTDI juga menyiapkan fasilitas hanggar composing, hanggar titanium, hanggar produksi, dan hanggar perakitan akhir pesawat tempur.
Tak kalah penting, Indonesia bersiap untuk membangun kemampuan persenjataan secara bertahap.
Sementara dari segi sumber daya manusia, ilmuwan-ilmuwan Indonesia akan mendapat pelatihan untuk mempertajam kemampuan, termasuk dengan disekolahkan lagi di dalam dan luar negeri.
Untuk di dalam negeri, Institut Teknologi Bandung digandeng. “Ada 25 orang kandidat S2 dan enam orang kandidat S3 di ITB. Semua sudah dites,” kata Heri.
Sebagian ilmuwan lainnya disekolahkan ke Inggris. Negeri di barat laut benua Eropa itu dipilih karena karena masa kuliah di sana relatif singkat. Dengan demikian, para ilmuwan Indonesia diharapkan cepat merampungkan kuliah dan langsung mempraktikkan pengetahuan barunya di Indonesia.
Teknologi, seperti diucapkan Heri, berubah cepat. Indonesia mesti berpacu, bersiap dengan cepat jika tak mau tertinggal.
Sumber : http://cnnindonesia.com/nasional/20160301132328-20-114559/terjal-jalan-indonesia-wujudkan-pesawat-tempur-siluman/