Kisah Pembebasan WNI yang Disandera Abu Sayyaf Pada 2005 - Radar Militer

12 April 2016

Kisah Pembebasan WNI yang Disandera Abu Sayyaf Pada 2005

Pasukan Militer Filipina
Pasukan Militer Filipina

Indonesia memiliki pengalaman membebaskan seorang WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di wilayah Filipina selatan pada 2005.
Operasi pembebasan yang bersifat "tertutup" dan melibatkan TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), BAIS dan Polri ini berhasil membebaskan seorang awak kapal Bonggaya 91, Ahmad Resmiadi, pada Maret 2005, dari penyanderaan kelompok Abu Sayyaf.
Walaupun situasinya tidak sama persis, operasi pembebasan Ahmad Resmiadi ini dapat dijadikan pelajaran dalam upaya pembebasan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan, kata bekas negosiatornya.
Inspektur jenderal (purnawirawan) Benny Joshua Mamoto mengatakan, proses pembebasan sandera membutuhkan waktu panjang, kesabaran, ketelitian, fokus dan koordinasi antar instansi terkait.
"Harus ada kendali, tidak boleh jalan-jalan sendiri, sehingga dengan mudah progress (kemajuannya) dan arahnya bisa dikontrol," kata Benny kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (10/04) malam.
Pada 2005, Benny Mamoto ditunjuk oleh Kapolri (saat itu) Jenderal Da'i Bachtiar untuk membantu operasi yang bersifat "rahasia". Mereka ditugaskan untuk membebaskan tiga orang anak buah kapal (ABK) Kapal Bonggaya 91 yang diculik kelompok Abu Sayyaf.
"Dari penyanderaan sampai dengan operasi militer itu (memakan waktu) tiga bulan," ungkapnya.
Pada 30 Maret 2005, tiga orang WNI itu mulai disandera, dan operasi militer Filipina yang digelar pada 12 Juni berhasil membebaskan dua sandera. "Tapi dua agen mereka dibunuh," ungkap Benny.
Adapun satu orang sandera lainnya, yaitu Ahmad Resmiadi, dibawa kabur oleh kelompok penculik Abu Sayyaf ke dalam hutan, ungkapnya.
"Setelah itu, Filipina janji satu minggu akan ada operasi militer, tapi saya tunggu seminggu, dua minggu, hingga sebulan, tidak ada berita. Mulailah saya turun," jelas Benny.
Walaupun tidak bersedia menjelaskan detail teknik operasi pembebasannya (yang disebutnya bersifat "tertutup"), Benny mengatakan, "Saya langsung dengan negosiasi dengan kelompok penculik selama tiga bulan."
"Sampai dengan 9 September 2005, kita akhirnya berhasil membebaskan Ahmad Resmiadi," katanya.
'Negosiator satu pintu'
Dari pengalamannya menjalankan peran negosiator, Benny mengatakan kelompok penculik yang menuntut tebusan biasanya akan menekan, meneror dan mengancam keluarga, perusahaan serta pemerintah dari pihak sandera.
"Maka, dari pengalaman saya, negosiatornya harus satu pintu. Boleh satu orang, satu tim, tetapi satu pintu," ungkap mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) ini.
Dengan demikian, kelompok penculik tidak dapat meneror kepada pihak manapun karena sudah disepakati untuk kontak kepada satu pihak saja.
"Dengan satu pintu, kita bisa mengarahkan dia (penculik), bisa mengendalikan dia, bisa mempengaruhi dia, sehingga kemauan kita yang dituruti dan bukan kemauannya," jelas Benny.
Kepada keluarga sandera, pemerintah harus bisa membuat mereka tenang dan tidak panik, katanya.
"Saya dulu membangun komunikasi yang baik dengan keluarga agar mereka tahu day by day kemajuannya," ungkapnya.
Sambil operasi berjalan, pihaknya juga terus mengenali penculiknya dan mengecek terus kondisi kesehatan sandera. "Dan dalam berkomunikasi dengan penculik, gunakan isu-isu yang menyentuh. Bagaimanapun mereka manusia," ujar Benny.
Dimintai komentarnya tentang proses pembebasan terhadap 10 WNI yang saat ini disandera kelompok Abu Sayyaf, Benny mengatakan langkah pemerintah Indonesia sudah tepat.
"Diplomasi diutamakan, ibu menlu sudah turun ke Filipina, instansi terkait sudah berkoordinasi untuk lobi dan pertukaran informasi," katanya.

Sumber : http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160410_indonesia_kisah_pembebasan_sandera2005

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

- Berkomentarlah yang sopan dan bijak sesuai isi artikel/ berita;
- Dilarang berkomentar SPAM, SARA, Politik, Provokasi dsb