Kelompok Teroris Abu Sayyaf |
Kapal Tugboat Henry sebelumnya mengangkut batubara dari Tarakan, Kalimantan Utara ke Cebu, Filipina. Kemudian kapal tersebut berlayar ke perairan Indonesia. Saat perjalanan pulang ke Indonesia, di perairan Malaysia dekat Pulau Ligitan nampak sebuah speed boat mendekat.
Speed Boat tersebut seperti angkatan laut yang sedang berpatroli. Dede pun awalnya mengira mereka adalah angatan laut yang berpatroli di wilayah perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Menurut Dede, ada lima orang berseragam loreng dengan persenjataan yang sangat lengkap di atas kapal Speed Boat tersebut. Sangat mirip petugas yang sedang berpatroli.
"Saya tidak menyangka kalau itu pasukan Abu Sayyaf, sebab beberapa menit lagi kami akan memasuki perairan Indonesia," ujar Dede kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Dede yang menjadi Anak Buah Kapal (ABK) Tugboat Henry bersama tiga temannya langsung dibawa orang-orang berseragam loreng tersebut. Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Dede bersama tiga orang temannya tidak melawan dan bersedia dibawa menjauhi Indonesia.
Dede pun menjadi salah satu sandera kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina. Selama dalam penyanderaan, ia diperlakukan sama seperti sandera yang lainnya.
"Selama disandera ya sedih kami di sana bukan tamu, kita tawanan, pastinya sengsara," ujar Dede.
Selama dalam penyanderaan kelompok militan Abu Sayyaf, Dede mengaku hanya diberi makan seadanya. Terkadang hanya memakan makanan bekas kelompok Abu Sayyaf.
Dede pun setiap hari diborgol dan diikat dipohon. Tidak ada kebebasan bagi seorang tawanan. Hanya saat shalat, ia diberi kelonggaran. Menurutnya, saat melakukan sembahyang diizinkan berjamaah bersama mereka.
Dede yang sudah sekitar tiga pekan lamanya bersama kelompok Abu Sayyaf menerangkan, setiap sandera tidak disatukan di satu tempat. Menurutnya, tempat yang dijadikan untuk menyembunyikan sandera berbeda-beda.
"Jadi saya gak tau yang lain, mereka di mana," ujarnya.
Sepengetahuan Dede, kelompok militan Abu Sayyaf berpindah-pindah tempat. Sebab, mereka mempunyai musuh yang juga mengejar mereka. Selama dalam penyanderaan ia jarang berkomunikasi, karena Dede tidak bisa memahami bahasa yang digunakan kelompok Abu Sayyaf.
Meski terlintas dalam pikirannya untuk kabur, menurut Dede hal itu percuma. Sebab, ia ditawan di daerah yang dikuasai Abu Sayyaf. Kalau pun dapat kabur tetap tidak tahu rutenya.
Selama dalam penyanderaan, pihak negoisator dari Indonesia terus berusaha membebaskan Dede bersama WNI lainnya. Pihak perusahaan tempat ia bekerja terus diberi kabar. Kemudian, pihak perusahaan meneruskan kabarnya kepada orang tua Dede di Desa Ciparanti, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran.
Kini Dede telah kembali ke keluarganya dengan membawa pengalaman pahit. Kendati demikian, ia mengaku akan tetap melaut. Menurutnya, setiap pekerjaan pasti ada risikonya masing-masing.
Dede berharap, kedepannya pemerintah Indonesia bisa memberikan penjagaan di wilayah perbatasan. Hal tersebut menurutnya sangat penting untuk menghindari penculikan bagi warga.
Penempatan penjaga di perbatasan juga agar selama berlayar tetap ada yang memonitor. Supaya tidak ada WNI yang mengalami nasib seperti dirinya.
Sebanyak 14 orang warga Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf akhirnya bebas. Pembebasan mereka dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk perusahaan yang diwakilkan oleh Kivlan Zen.
Sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/17/o7ab7g361-saya-tak-menyangka-itu-pasukan-abu-sayyaf