Operasi Elang |
Pleton 2 dan 4 Resimen Tim Pertempuran Pasukan Gerak Tjepat (RTP PGT) di tahun 1962 masih kering pengalaman tempur. Prajuritnya dikenal masih bau kencur. Tak masalah toh, karena yang penting semangat bertempur sudah begitu tinggi. Begitu menyelesaikan pendidikan terjun di Margahayu, Bandung mereka diperintahkan untuk terjun di bagian penutup dari fase infiltrasi ke Irian Barat.
Seperti diakui Peltu (Pur) Rusmin dan Peltu (Pur) Joseph Dole Lehera, setidaknya mereka sudah tujuh kali terjun statik saat mengikuti pendidikan para di Margahayu. Mereka adalah bagian dari sekitar 130 anggota baru PGT yang disiapkan untuk melaksanakan operasi, setelah sebelumnya digojlok di pusat pendidikan tamtama AURI di Lanud Panasan, Solo, dan Jombang, Jawa Timur.
Di Margahayu saat itu sudah disiapkan dua kompi PGT. Karena innocence, di antara mereka malah saling ngeledek, menjadikan operasi ini sebagai bahan guyonan. “Siapa yang tidak berani terjun, sekarang pulang kampung, pakai BH saja”. Hari itu, 5 Agustus 1962, dicatat Lehera yang sudah status konsinyir di Margahayu. Selama masa konsinyir, mereka dimanjakan dengan menu makanan yang sehat dan bergizi. Di hari-hari itu pula, pikiran dan emosi mereka mulai digiring ke situasi perang dengan mewajibkan menonton film perang di sebuah bioskop di komplek Margahayu. Esoknya dilaksanakan apel besar. Sejak saat itu, barak-barak dijaga ketat. Tidak diperbolehkan lagi keluyuran, sehingga terpaksa membatalkan janji dengan pacar.
Sambil menunggu hari keberangkatan, Mako terus melengkapi setiap prajurit dengan bekal pokok. Sejumlah obat dimasukkan ke dalam ransel, seperti obat antiracun, obat antimalaria, dan obat penjernih air. Termasuk bekal makanan kering dan cornet beef. Sekitar satu kompi dari mereka kemudian diberangkatkan lebih dulu dengan menggunakan kapal laut dari Tanjung Priok ke Ambon.
Itulah awal dari dilaksanakannya Operasi Jatayu oleh PGT, yang sesuai PO Pangla No. 15/PO/SR/7/1962 tertanggal 9 Agustus 1962, harus dilaksanakan pada 13 Agustus. Infiltrasi ini merupakan penutup fase infiltrasi udara yang telah dilaksanakan sejak bulan April. Operasi Jatayu juga dimaksudkan sebagai pamungkas untuk memaksa Belanda menandatangani perjanjian New York.
Untuk menjalankan Operasi Jatayu, Komando Mandala menyiapkan enam Hercules. Setiap sasaran didukung oleh dua pesawat. Sebelum pasukan diterjunkan, terlebih dahulu dilakukan penerbangan penipuan untuk mengamankan dan mensukseskan operasi kelak. Keenam Hercules akan dikawal oleh tiga pembom strategis Tu-l6 Badger, satu Il-28 Beagle, dua B-25/26, empat P-51 Mustang dan dua UF-1 Albatross yang berperan sebagai pesawat SAR. Operasi akan dilakukan secara serentak dengan sasaran di daerah Klamono-Sorong, Kaimana, dan Merauke. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Mandala memimpin langsung Operasi Jatayu bersama Komodor Udara Leo Wattimena.
Pada pukul 22.00 WIT tanggal 12 Agustus, Mayjen Soeharto dengan menggunakan pesawat komando Convair-240 yang diterbangkan Kolonel Udara Tituler Partono, terbang di sekitar timur Pulau Seram. Operasi lintas udara yang akan menerjunkan pasukan pada tengah malam pukul 02.00 ini, dipecah ke dalam tiga kelompok dengan rincian sebagai berikut.
Operasi Elang, melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol Udara Slamet dengan wingman Kapten Udara Sukardi dan kopilot LU I Siboen. Pesawat akan berangkat dari Laha untuk menerjunkan 132 anggota PGT di daerah Klamono-Sorong. Pasukan dipimpin oleh Kapten Udara Radix Sudarsono, yang mulai meniti karier di PGT sebagai perwira pembinaan jasmani (binjas). Kedua Hercules dikawal oleh satu Il-28 dengan penerbang LU II Wakidjan.
Operasi Gagak dengan sasaran Kaimana dan Merauke, juga menggunakan dua Hercules yang dipimpin Mayor Udara Pribadi dan wingman Mayor Udara TZ Abidin. Pesawat berangkat dari Letfuan dengan membawa 141 anggota Batalion 454 Banteng Raiders Diponegoro di bawah pimpinan Mayor Inf Untung Samsoeri. Mereka akan diterjunkan di sekitar Kaimana. Operasi ini dikawal oleh sebuah pembom B-25 dan satu Mustang.
Sementara Operasi Alap Alap dilaksanakan dari dua Hercules dengan flight leader Mayor Udara Nayoan dan wingman Kapten Udara Santoso Suharto. Pesawat berangkat dari Amahai dengan membawa 132 anggota PGT yang akan diterjunkan di daerah Merauke. Pasukan yang dipimpin LU II Matitaputty itu bertugas untuk memperkuat pasukan RPKAD yang telah diterjunkan terlebih dahulu pada 23 Juni dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Benny Moerdani. Selain mendapat pengawalan dari pesawat tempur dan pembom, juga diberangkatkan pesawat Catalina dan Albatross untuk tugas SAR.
Menurut catatan Sukardi, Operasi Jatayu adalah operasi lintas udara terbesar yang pernah dilaksanakan AURI dalam satu malam, setidaknya hingga saaat itu.
Menurut kesaksian para pelaku, seperti ditulis dalam buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat, mereka diangkut menggunakan truk-truk sipil yang didatangkan entah dari mana. Truk berangkat dari Margahayu dengan mengambil rute jalur Puncak, kemudian langsung ke Halim. Di Halim mereka ditampung di mashalling area yang sekarang dijadikan Lapangan golf Halim. Istirahat semalam, besoknya mereka diangkut lagi dengan truk yang sama ke Pelabuhan Tanjung Priok. Di sini sudah menunggu KM Ambulombo, yang biasa digunakan untuk mengangkut jemaah haji ke tanah suci Mekkah.
“Kalau ada yang tanya kamu-kamu kemana, bilang saja mboten sumerep (tidak tahu),” ujar Pelda (Pur) I Wayan Kurnia menirukan ucapan komandan PGT Kapten Wiriadinata saat itu. Ketika mau naik kapal, Wayan sempat dicandai oleh ABK kapal yang mengatakan, … oooo jadi ini yang mau diterjunkan di Irian.
Kapal pun bergerak meninggalkan Jakarta. Bersama PGT. PU I Hardja Sumarja melihat keanehan di permukaan laut baik di depan maupun di belakang kapal. Benda aneh yang ia lihat muncul dari bawah permukaan air itu seperti cerobong pembuangan asap di pabrik. Penasaran dengan benda aneh itu, ia pun menanyakannya kepada ABK kapal. “Karena bawa pasukan satu batalion, kapal ini dikawal oleh kapal selam depan dan belakang,” ujar si ABK. Ooo… kalau begitu yang dilihat Hardja pastilah periskop.
Setibanya di Ambon, pasukan ditempatkan di Laha sebagai pangkalan aju. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selama beberapa di Ambon selain menata lagi semua perlengkapan yang diberikan. Dua Hercules dengan nomor T-1304 dan T-1305 disiapkan untuk membawa mereka. Segalanya di cek oleh kru pesawat, mulai dari kondisi mesin, baling-baling, jumlah bahan bakar dan sebagainya hingga diyakini benar-benar oke. Karena beberapa jam ke depan mereka akan menerjunkan pasukan para di daerah operasi.
Malam itu juga mereka kembali diingatkan oleh Letkol Udara Dewanto. “Putih tembak, hitam jangan!” Artinya kalau bertemu pasukan Belanda boleh menembak, tapi bila bertemu penduduk Irian, jangan ditembak. Tak lama kemudian, Panglima Mandala Mayjen Soeharto berpidato di depan semua pasukan, memberikan taklimat terakhir sebelum keberangkatan.
“Saudara-saudara semua adalah pasukan pilihan dan orang-orang pemberani. Tugas saudara-saudara berat dan penuh risiko. Bersama saudara-saudara mala mini diterjunkan kurang lebih satu batalion pasukan-pasukan pilihan seperti saudara-saudara sekalian di tiga sasaran yang berbeda. Sekali lagi, tugas kalian sangat berat tapi sangat mulia. Nasib negeri ini terletak di atas pundak kalian….”
“Apakah kalian sanggup,” tanya Panglima.
“Sanggup,” jawaban pasukan serentak.
“Apakah kalian berani,” tanya Panglima lagi.
“Beraniiiii!”
“Walaupun penuh risiko?”
“Siaaaaaap!”
“Berangkatlah. Selamat berjuang, kita pasti menang,” tutup Panglima berwibawa.
Setiap anggota dibekali senapan G3, empat granat tangan, dua peluru mortir, ransel, kelambu, rantang, pacul, pisau lempar, tali 30 meter, uang 600 gulden New West Guinea, empat kaleng makanan, sagu, beras untuk satu minggu, ponco, dua stel pakaian dinas lapangan, alat survival, dan 500 butir peluru.
Masing-masing melakukan persiapan. Parasut dibagikan, tanpa parasut cadangan. KU I Sapri dari Kompi Bantuan yang dipimpin RM Sutikno (gugur di Malaysia) tenggelam dalam kesibukan untuk menyiapkan rekan-rekannya. Sudiro diminta memasang pita palang merah di lengannya. Ia mencoba mencari makanan, namun tidak kebagian, dan hanya bisa memperoleh minuman. Sebaliknya ada yang tidak mau membawa makanan, karena katanya di dropping zone sudah pasukan kawan yang menunggu.
Dua Hercules yang mengangkut prajurit PGT ini diterbangkan oleh Letkol Udara Slamet dan Kapten Udara Sukardi dikawal sebuah ll-28 yang diterbangkan oleh LU II Wakidjan.
Saat sedang melaksanakan cockpit check bersama awak pesawatnya, tiba-tiba perwira intel Kapten Udara Heru Atmodjo berbisik ke telinga Kapten Sukardi. “Di, wis dienteni (sudah ditunggu) Neptune,” bisiknya sambil menepuk pundak Sukardi dan berlalu. Para penerbang AURI sebenarnya mengetahui bahwa setiap akan melaksanakan penerbangan untuk infiltrasi udara, Belanda sudah mengetahuinya. Persoalannya kini adalah bagaimana taktik dan strategi dari para penerbang untuk menghadapi situasi kritis yang sudah diduga.
Dini hari itu menjelang pukul 02.00, udara dingin yang menusuk tulang diacuhkan oleh segenap kru dan anggota pasukan. Obo-obor penerbangan landasan baru saja dinyalakan. Hari itu, 13 Agustus 1962, pasukan PGT akan diterbangkan menggunakan dua Hercules menuju medan operasi di Klamono di wilayah Sorong. Menurut Sukardi, ini adalah penerjunan akhir sebelum dilaksanakannya penerjunan besar-besaran di Biak yang rencananya akan dilakukan pada 15 Agustus. Diharapkan pada 17 Agustus, Sang Merah Putih sudah berkibar di seluruh wilayah Irian Barat.
Sukardi berkali-kali memalingkan kepalanya ke pesawat di sebelah kirinya yang merupakan flight leader. Meski gelap, ia masih bisa melihat siluet komandannya. Maksudnya adalah untuk mengetahui apakah sudah saatnya untuk start engine. Prosedur radio silent sudah dimulai sejak dari pangkalan keberangkatan. Sukardi juga meminta kepada ground control untuk memberitahukannya soal ini.
Flight leader sengaja mengarahkan pesawat tidak langsung ke sasaran, tetap melambung ke arah Biak dengan maksud mengelabui sistem pertahanan Belanda. Setibanya di atas leher kepala burung, kedua Hercules berbelok ke kiri, segaris dengan arah ke Klamono, Sorong. Leader mulai meminta pesawat kedua untuk menurunkan ketinggian hingga 3.000 dan 4.000 kaki. Komunikasi dilakukan melalui radio telegrafis yang cukup aman meski memakan waktu.
Lokasi penerjunan yang tidak terlalu jauh dari pangkalan udara Jeffman di Sorong, cukup berisiko bagi Hercules. Di sini berpangkalan pesawat tempur Belanda seperti Neptune, Firefly, dan Hunter. Namun karena dilindungi secara penuh oleh pesawat tempur, maka kedua Hercules dengan percaya diri memasuki daerah sasaran.
Sampai pada fase yang menentukan untuk penerjunan, konsentrasi mereka semakin meninggi.
Cuaca di sekitar lokasi penerjuan sangat baik dengan cahaya bulan dan bintang bertaburan di langit. Namun karena silent, mereka tidak bisa saling melihat karena haram menyalakan lampu navigasi. Hanya kepercayaan kepada sesama teman (battle buddy) yang tetap dipegang, bahwa masing-masing pasti terbang di ketinggian yang tepat. Leader terbang pada ketinggian 1.600 kaki di atas pepohonan dengan radio altimeter dalam posisi on. Pesawat kedua mengekor di belakang pada ketinggian 1.900 kaki. Separasi tidak hanya aman untuk pesawat tapi juga bagi pasukan yang diterjunkan.
Menjelang pukul 04.00, pasukan yang dibagi ke dalam tiga peleton mulai diterjunkan di sebuah kampung yang bernama Maladopak di wilayah Sorong. Peleton pertama diterjunkan di Klamono yang berjarak 36 km selatan Sorong. Peleton kedua diterjunkan di Kladuk, timur Sorong. Sedangkan peleton ketiga diterjunkan di Kalaili, daerah paling timur kota Sorong.
Cuaca pada saat penerjunan diliputi hujan lebat dan gelap gulita. Mungkin karena cuaca tidak bersahabat dan misi one way ticket, mereka dipaksakan exit saat ketinggian pesawat cukup tinggi. Dari udara sasaran terlihat seperti daratan. Ternyata mereka exit di atas awan. Apa yang mereka lihat sebagai daratan ternyata awan putih. Semuanya mengakui bahwa saat melayang di udara, melihat di bawah putih semua yang ternyata awan hujan. Mereka pun kemudian menembus hujan sebelum tiba di bawah. Sudiro sendiri yang bawaannya cukup banyak, exit mengikuti parasut yang membawa logistik termasuk obat-obatan.
Hampir semua anggota yang diterjunkan mendarat di pohon yang tingginya rata-rata 40 m. Untuk mencapai tanah mereka harus berjuang dengan susah payah. Banyak di antara mereka yang cedera karena memaksakan loncat ke bawah. Yang sudah berpengalaman tidak langsung loncat, tapi menjatuhkan terlebih dulu helm untuk mengukur ketinggiannya dari tanah. Mereka berusaha turun menggunakan tali sepanjang 30 m yang menjadi bekal.
Tali sebesar jari orang dewasa ini digulung rapi lalu diikatkan di pinggang kiri. Karena pohon yang begitu tinggi, tali inipun belum bisa membawa mereka ke tanah. Bagi yang tidak panik, menyambungkannya dengan tali parasut yang dipotong dengan pisau sehingga bisa turun dengan aman. Ada juga yang tidak berani turun dan memilih bertahan di atas pohon sampai waktunya dirasa aman. Karena sewaktu diterjunkan mereka jatuh terpencar, hingga diperlukan waktu berhari-hari untuk dapat berkumpul kembali.
Sewaktu akan mendarat, parasut yang digunakan Komandan Kompi Radix Sudarsono tersangkut di sebuah pohon tinggi dengan posisi kepala ke bawah. Hal ini bisa terjadi karena setiap anggota PGT yang diterjunkan dilengkapi dengan leg bag, yaitu plunje zak (tas lonjong untuk perbekalan) yang digantung di paha kiri, dan sewaktu akan mendekati tanah diturunkan dengan tali. Namun benda ini tampaknya membikin celaka.
Pagi harinya, daerah penerjunan ditembaki oleh Neptune setelah melihat parasut yang tersangkut di pohon. Mereka berusaha berlindung di balik pepohonan yang diameternya bisa tiga pelukan orang dewasa. Selama satu minggu Radix, sang komandan kompi hidup sendirian. Selama dalam pengembaraan di hutan yang luas dan gelap, Radix terjebak oleh halusinasinya sendiri. Dalam kondisi yang lemah dan lapar, ia seakan-akan melihat kampung yang indah tetapi hati nuraninya mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin.
Ternyata hati nuraninya betul. Setelah dilihat beberapa saat, pemandangan indah yang dilihatnya ternyata adalah jurang yang terjal. Sedikit putus asa, akhirnya Radix menembakkan senjatanya ke udara. Padahal sebelumnya sudah disampaikan, untuk menjaga kerahasiaan, dilarang menembakkan senjata. Tembakannya itu segera disambut dengan tembakan-tembakan lain yang dilepaskan oleh anggotanya.
Rasa putus asa itu juga sempat menghinggapi I Wayan Kurnia. Empat hari ia bertahan di titik penerjunan tanpa berani pergi, berharap ada isyarat dari rekan yang lain. Di hari keempat itu ia mendengar isyarat tembakan, yang rupanya dari rekannya Cipto.
Setelah selamat turun dari pohon, hal pertama yang mereka pikirkan adalah secepat mungkin bertemu teman. Namun tidak semudah membalik telapak tangan. Mencari teman adalah perjuangan tersendiri yang harus mereka lalui.
Setelah meminum kopi susu kemarin malam dan nasi yang dibawanya, Sukirno pun melanjutkan perjalanan. Lalu ia mendengar suara …. kresek… kresek. “Siapa itu,” teriaknya. Rupanya temannya. Mereka pun berangkulan dan menangis syahdu. Keduanya melanjutkan perjalanan sampai sore.
Tolooooooong, tolong….. ada suara berteriak minta tolong. “Siapa,” teriak Sukirno. “Ujang,” jawabnya yang ternyata PU I Udjang Ahmad. Ia rupanya jatuh ke dasar jurang dan tidak sanggup lagi naik karena terluka. Mereka pun akhirnya berkumpul setelah bertemu lagi dengan PU I Saleh, PU I Temon, dan PU I Emong Rukman.
Berlima mereka terlelap di sebuah gua kecil sampai akhirnya kelompok kecil ini bertemu dengan kelompok yang lebih besar.
Demikian juga halnya yang dialami regu yang dipimpin Koptu Suroto. Pada hari pertama, Suroto hanya menemukan satu anggotanya yang bernama Lubis. Ketika ditemukan, Lubis masih tersangkut di pohon yang ketinggiannya sekitar 40 m. Karena badannya sangat lemah, Lubis meluncur ke bawah tanpa menggunakan tali. Akibatnya ia terjatuh dan terluka cukup parah. Karena kondisinya yang cukup parah dan tidak mendapatkan tindakan medis yang tepat, tak lama kemudian ia pun meninggal. Almarhum Lubis dimakamkan di tempat itu juga. Beberapa hari kemudian mereka baru dapat berkumpul kembali.
Mereka berjalan ke arah selatan, yaitu ke pantai yang diperkirakan banyak terdapat makanan. Setelah menempuh perjalanan selama 10 hari, mereka bertemu dengan induk pasukan yang dipimpin Radix Sudarsono. Batalion Radix baru bisa melakukan konsolidasi sekitar dua minggu setelah penerjunan. Kompas yang mereka bawa tidak banyak membantu, malah membingungkan karena jarumnya menunjuk ke segala arah seperti orang bingung. Untung ada anggota memiliki kompas yang masih berfungsi dengan baik.
Sesekali memang mereka dibantu penduduk setempat yang kebetulan ditemui untuk menunjukkan arah. Itupun sangat sulit menemukan warga setempat. Menurut I Wayan Kurnia, kondisinya beda dengan di Kalimantan. “Kalau di Kalimantan kita bisa cepat ketemu orang Dayak, namun kalau di hutan Irian jangan harap bisa cepat, bisa berhari-hari baru bisa ketemu orang,” kenangnya.
Persepsi soal jarak antara penduduk asli dengan anggota PGT ini berbeda jauh. Bagi penduduk asli yang hidup nomaden dan survive di tengah hutan belantara, berjalan kaki adalah hal rutin yang mereka lakukan jika berpindah tempat atau bepergian. Dalam kamus mereka sepertinya tidak ada istilah jauh. Kondisi inilah yang banyak dialami anggota PGT ketika bertanya kepada warga yang ditemui tentang lokasi dan tempat. Lagi pula kumpulan warga yang disebut kampong itu, sebenarnya tak lebih dari dua sampai lima rumah saja.
“Masih jauhkah,” tanya Wayan kepada warga.
“Tarada, tarada jauh, ada naik ada turun, torang sampe,” balas si warga. Namun setelah berjalan naik turun gunung selama empat hari, kenapa tidak sampai-sampai?
Pasukan selanjutnya dibawa Radix berjalan menuju Klamono. Sesampainya di kota, pasukan ini mendapati kabar bahwa telah terjadi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. (Beny Adrian/Remigius S.)
Sumber : http://angkasa.co.id/