Tank Challenger II |
Pemerintah Inggris melihat invasi Irak ke Kuwait pada Perang Teluk tahun 1990 sebagai kesempatan yang tak ada tandingannya untuk menjual senjata ke negara-negara Teluk. Demikian yang tertulis dalam dokumen rahasia yang baru saja dideklasifikasi
Memo yang dikeluarkan oleh Arsip Nasional itu mengungkapkan bagaimana para menteri dan pembantunya berusaha memastikan produsen senjata Inggris dapat memanfaatkan kenaikan permintaan untuk persenjataan saat Perang Teluk 1990. Dokumen itu termasuk pertemuan Alan Clark, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan, dengan Perdana Menteri Margaret Thatcher saat ia berkunjung ke negara-negara Teluk pada malam menjelang perang.
Upaya pemerintah menuai dividen. Perang memberi tekanan yang signifikan bagi penjualan senjata ke wilayah tersebut. Perang juga membantu memelihara hubungan kuat yang berlanjut sampai hari ini.
Dalam sebuah surat bertuliskan "rahasia", Clark menulis sebuah memo pribadi kepada Thatcher. Ia menggambarkan tanggapan yang diharapkan dari Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya sebagai "kesempatan yang tak ada bandingannya" untuk Organisasi Pelayanan Ekspor Pertahanan (sekarang dikenal sebagai DSO). Surat itu ditulis pada 19 Agustus 1990, beberapa hari setelah pasukan Saddam Hussein menyerang Kuwait.
"Apapun kebijakan penyebaran yang kami adopsi, saya harus menekankan bahwa ini adalah kesempatan yang tak tertandingi untuk DESO; Demonstrasi yang luas dengan amunisi dan uji coba nyata," tulis Clark disadur dari The Guardian, Minggu (13/8/2017).
"Saya telah mencantumkan daftar prospek penjualan pertahanan saat ini di awal krisis. Ini kemungkinan besar akan dibawa ke depan dan volumenya meningkat jika kita melakukan terhadap barang-barang kita," imbuhnya.
Memo lain menunjukkan bahwa Clark menggunakan pertemuan dengan emir Qatar dan dengan menteri pertahanan Bahrain mendorong ekspor senjata. Dalam pertemuan lebih lanjut, dia mengidentifikasi Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir dan Yordania sebagai calon pelanggan.
Dalam satu dokumen pertemuan, yang dibuat pada tanggal 7 Agustus dan ditandai "pembatasan penutupan rahasia", pegawai negeri sipil mendiskusikan kemungkinan penjualan senjata pertahanan.
Di antara pesanan potensial yang ingin mereka bawa adalah 36 helikopter Westland Black Hawk dari Abu Dhabi, dalam sebuah kesepakatan senilai 325 juta pounds. Oman tercatat tertarik untuk membeli Warrior Desert fighting vehicles seharga 55 juta pounds, sekaligus menempatkan pesanan untuk tank Challenger II. Bahrain ingin membeli jet Hawk dari British Aerospace, sementara Arab Saudi tercatat tertarik dengan kesepakatan 200 juta untuk tujuh hovercraft.
Clark percaya bahwa berbagi intelijen dengan negara-negara Teluk menjelang perang bisa menjadi alat pemasaran yang berguna bagi industri persenjataan. Dia mengajukan sebuah rencana kepada seorang perwira intelijen senior untuk melakukan kunjungan mingguan ke negara-negara Teluk untuk berbagi briefing sangat bersih yang tidak akan melanggar pemahaman dengan AS. Clark sangat tahu pentingnya kunjungan tersebut, dengan catatan bahwa mereka akan memberikan hidangan yang bermanfaat bagi perwakilan DESO bila sesuai.
Dokumen tersebut menunjukkan bagaimana Clark mengunjungi raja-raja Teluk pada hari-hari menjelang perang untuk menggarisbawahi dukungan Inggris bagi mereka. Ia juga menekankan kecepatan dan tanggapan respons militer Inggris. Dia mengatakan kepada Thatcher bahwa instingnya adalah "masuk dengan sangat dan mendesak" melawan Irak dalam konflik yang akan datang.
Charles Powell, sekretaris pribadi Thatcher, mengatakan kepada Clark dalam sebuah memo bahwa dia ingin menggunakan kunjungannya ke para penguasa Teluk untuk menunjukkan bahwa Inggris telah lebih cepat dan lebih baik dalam menanggapi bantuan sekutu-sekutu Teluknya daripada Prancis, saingan ekspor senjata.
Dia juga meminta Clark untuk mengunjungi negara-negara Teluk yang lebih kecil yang merasa bahwa Inggris belum cukup memperhatikan kebutuhan dan kekhawatiran keamanan mereka.
Isu ekspor jelas merupakan isu sensitif bagi menteri. Dalam satu memo kepada Powell, William Waldegrave, menteri luar negeri untuk urusan luar negeri dan Persemakmuran, menentang keputusan pemerintah untuk menggugat pelanggaran hak asasi manusia Saddam. Ia mengatakan bahwa hal itu memicu pertanyaan yang tak terelakkan tentang "mengapa Anda terus melakukan bisnis dengan dia?"
Sumber : https://www.sindonews.com/