Jet tempur Rafale |
Malaysia memperingatkan keputusan Uni Eropa (UE) membatasi impor komoditas minyak kelapa sawit dapat merusak harapan Prancis memenangkan salah satu kontrak pembelian jet tempur terbesar di Asia.
Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Prancis, menjadi salah satu kandidat utama rencana Malaysia membeli 18 pesawat dalam potensi kontrak senilai lebih USD2 miliar (Rp28 triliun). Meski demikian, perundingan untuk pembelian pesawat itu terganjal setelah parlemen UE ingin menghentikan penggunaan minyak sawit pada bahan bakar kendaraan. Malaysia menyatakan, pekan ini pihaknya akan merespons jika UE tidak mencabut pembatasan itu.
“Jet tempur Prancis, Rafale, juga bersaing dengan Inggris yang akan meninggalkan UE. Jadi, mereka harus menjadikan itu dalam pertimbangan,” ungkap Menteri Pertahanan (Menhan) Malaysia Hishammuddin Hussein, dikutip kantor berita Reuters.
Hishammuddin menegaskan, “Malaysia tidak dapat memasang tarif harga pada kepentingan nasionalnya saat menegosiasikan kesepakatan bilateral.” “Mereka yang ingin hubungan bilateral kuat, jangan hanya melihat pertimbangan ekonomi terpisah dari pertimbangan lain, khususnya terkait pertahanan karena kita memiliki opsi lain,” papar Hishammuddin.
Malaysia telah beberapa tahun mempertimbangkan jet Rafale buatan Prancis dan Eurofighter Typhoon buatan grup Eropa, termasuk BAE Systems asal Inggris untuk menggantikan pesawat MiG-29 buatan Rusia yang telah banyak dinonaktifkan.
BAE berupaya keras selama hampir satu dekade dan telah membangun kantor regional di Kuala Lumpur untuk memenangkan kontrak tersebut. Komentar Hishammuddin itu dapat menjadi pendorong BAE yang tawarannya tampak kurang menarik, setelah Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak menyatakan dia membahas kemungkinan pembelian pesawat Rafale saat kunjungan pada 2017 oleh Presiden Prancis saat itu Francois Hollande.
Chief Executive Officer (CEO) Dassault Eric Trappier menyatakan, pembatasan minyak sawit dapat memengaruhi hubungan antara beberapa negara, tapi perundingan dengan Malaysia telah berlangsung lama. “Perundingan baru akan bergantung pada pemerintahan baru,” kata Trappier dalam konferensi pers di Prancis.
BAE tidak segera merespons permintaan untuk komentar terkait pernyataan Menhan Malaysia Hishammuddin.
Malaysia dapat kehilangan pendapatan tahunan USD500 juta jika UE melakukan pembatasan minyak sawit, menurut perkiraan para pengamat. Isu pembatasan minyak sawit itu menambah masalah yang dihadapi Najib yang membutuhkan suara dari lebih 600.000 petani kecil sawit dalam pemilu Agustus mendatang.
Keputusan tentang pesawat itu ditunda karena masa pemilu yang kian mendekat dan perubahan fokus Malaysia pada peningkatan kemampuan pengintaian udara.
Sumber pemerintah Prancis menyatakan, Paris tidak akan mendukung larangan total terhadap minyak sawit. “Jika itu minyak sawit berkelanjutan, maka dapat digunakan pada biofuel. Ide ini mendukung pendekatan konstruktif dan non-diskriminatif pada minyak sawit,” papar pejabat Prancis.
Menhan Prancis Florence Parly berkomentar di New Straits Times , Malaysia, pada Januari bahwa Kuala Lumpur dapat mengandalkan Paris untuk menentang larangan tersebut.
Sementara peningkatan impor biodiesel dari Argentina dan proyeksi bertambahnya pengiriman dari Indonesia berpotensi menurunkan output di UE sebagai produsen bahan bakar terbarukan terbesar di dunia.
UE telah menerapkan bea impor untuk biodiesel Argentina pada September lalu, setelah Buenos Aires menang dalam gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), beberapa pekan setelah Amerika Serikat (AS) menerapkan bea masuk untuk bahan bakar. UE kini mempertimbangkan untuk memangkas bea pada biodiesel asal Indonesia.
Antara Agustus tahun lalu dan Januari, sebanyak 852.000 ton biodiesel, sekitar empat kali kapasitas pabrik besar UE senilai USD617 juta, diekspor dari Argentina ke UE, sesuai data bea cukai. Sebelumnya pada 2017, hampir semua ekspor ditujukan ke AS.
Kepala Badan Biodiesel Eropa (EBB) Raffaello Garofalo menyatakan, dampak impor Argentina ternyata lebih buruk dibandingkan perkiraan. “Ada kerugian ekonomi tinggi dan kita berisiko melihat banyak produsen bahan bakar terbarukan Eropa bangkrut menghadapi banjir impor tidak adil itu,” ujarnya. (Syarifudin)
Sumber : https://www.sindonews.com/