F-5 Tiger TNI AU |
“Presiden Soekarno berpesan, bangsa Indonesia harus menguasai teknologi udara dan maritim. Apalagi Indonesia bangsa yang besar. Kalau mau bertahan, jelas mesti kuat pertahanan udaranya.”
“Lalu kenapa harus mengembangkan jet tempur? Tentu karena itu salah satu alat tempur utama di udara. Yang menentukan menang-tidaknya Sekutu atau Jepang dalam Perang Dunia II adalah pertempuran maritim dan udara,” ujar Andi.
Mencapai kemandirian menjadi kata kunci. Jika hanya membeli persenjataan dari negara lain, kata Andi, sudah pasti Indonesia akan tergantung pada negara itu. Terlebih jika menyangkut alat utama sistem senjata (alutsista) berteknologi tinggi.
“Beli senjata ke Amerika, ya akan tergantung kepada Amerika. Kalau hubungan Indonesia dengan Amerika sedang baik, tak apa-apa. Tapi kalau tiba-tiba bermasalah lalu diembargo, jadi tidak ada dukungan persenjataan,” kata Andi.
Hal itu pernah terjadi pada 1995 sampai 2005 saat Indonesia diembargo militer oleh Amerika Serikat. AS menyetop penjualan senjata, termasuk tak mau memberikan suku cadang yang diperlukan Indonesia untuk meremajakan pesawat-pesawat TNI yang dibeli dari mereka.
Embargo ketika itu dijatuhkan lantaran Negeri Paman Sam menuduh Indonesia melanggar hak asasi manusia dengan menembaki demonstran di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991.
Sepuluh tahun embargo AS, ujar Andi, membuat kekuatan tempur udara Republik Indonesia mengalami kemerosotan tajam. Banyak pesawat tempur TNI Angkatan Udara harus di-grounded lantaran tak punya suku cadang.
Hal itu misalnya menimpa setengah lusin F-16 Fighting Falcon, sejumlah armada F-5 Tiger, sampai pesawat angkut militer C-130 Hercules yang seluruhnya buatan AS. Lebih parah lagi, beberapa pesawat Hawk 109/209 buatan Inggris sekutu AS yang dimiliki TNI juga ikut terkena embargo.
Embargo membuat banyak pesawat militer RI tak bisa diterbangkan sekalipun kondisinya baik, bahkan tergolong baru. Alhasil sia-sia saja memiliki armada tempur jika banyak yang tak bisa digunakan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.
Sistem pengaman
Indonesia lantas mencari akal. Tahun 2003, tahun kedelapan masa embargo AS, pemerintah RI membeli pesawat Sukhoi dari Rusia –negara di kubu berseberangan dengan AS. Indonesia pun kini memiliki satu skuadron lengkap Sukhoi.
“Apa yang dilakukan Indonesia ketika itu seperti membuat dua sistem: satu tergantung kepada Amerika, satu kepada Rusia. Ada Sukhoi, ada F-16 (buatan AS). Kalau Amerika mengembargo sehingga F-16 tidak bisa terbang, masih ada Sukhoi,” kata Andi.
Sesungguhnya embargo militer merugikan AS sendiri. Perusahaan-perusahaan negara adidaya itu yang bergerak di industri penerbangan jadi kehilangan salah satu pasar potensial. Mereka tak bisa menjual alutsista dan suku-suku cadang kepada Indonesia.
Embargo akhirnya dicabut tahun 2005. Namun Indonesia tetap mempertahankan dua sistem tersebut sebagai “tali pengaman.”
Target Indonesia selanjutnya adalah menjaga kesinambungan alat-alat tempur yang dimiliki dalam keadaan krisis.
“Ini yang paling utama. Indonesia berhak untuk mempertahankan diri dari ancaman luar,” ujar Andi.
Tahap berikutnya ialah mencapai kemandirian. “Masih panjang perjalanan Indonesia untuk mandiri. Tapi setidaknya negara ini bisa bertahan dalam keadaan krisis. Semisal ada pertempuran sampai 10 tahun, minimal pesawat Indonesia tidak kehabisan peluru dan suku cadang. Di situ letak kesinambungannya,” kata Andi.
Kesinambungan dan kemandirian tersebut terkait erat satu sama lain. Untuk mencapai kedua hal itu, Indonesia setelah serangkaian proses menerima tawaran Korea Selatan untuk bersama-sama mengembangkan teknologi pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X).
"Korea antusias dan percaya dengan Indonesia," ujar Andi.
Wakil Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Eris Herryanto mengatakan, tak mudah bagi Indonesia dan Korea Selatan untuk sampai pada tahap kerja sama seperti sekarang ini.
Perbedaan sistem, perbedaan tujuan, dan perbedaan posisi dalam mendapat teknologi, membuat Jakarta dan Seoul mesti saling berkompromi dan menyamakan persepsi.
Kesulitan juga terletak pada teknologi Amerika Serikat, yakni perusahaan dirgantara AS Lockheed Martin, yang direncanakan digunakan untuk mengembangkan jet KF-X/IF-X.
“Tingkat pertemanan Amerika dengan Indonesia mungkin berbeda dibanding Amerika dengan Korea. Perbedaan posisi itu bisa berpengaruh saat membuat perjanjian. Tapi Korea mau menyatukan sikap dengan Indonesia. Ini indikasi kerja sama berjalan baik,” kata Andi.
Kepala Program KF-X/IF-X PT Dirgantara Indonesia, Heri Yansyah, menyatakan yang terpenting dari seluruh proses dan upaya yang berlangsung saat ini ialah penguasaan atas teknologi upgrading atau pemutakhiran, sehingga semua pesawat tempur yang dimiliki Indonesia nantinya selalu dilengkapi teknologi terbarukan.
Teknologi adalah kunci menuju kesinambungan dan kemandirian, serta “tali pengaman” yang lebih sempurna.
Sumber : http://cnnindonesia.com/nasional/20160301150059-20-114600/kisah-embargo-as-dan-sukhoi-rusia-di-balik-jet-tempur-ri/