F-35 Lightning II |
Red Flag 2017 masih menyisakan sekelumit cerita. Selain kabar soal keterlibatan F-35A di latihan tempur udara ini, duet maut F-35 Lightning II dan F-22 Raptor juga patut disimak.
F-35 Lightning II dan F-22 Raptor mendominasi jalannya skenario pertempuran udara melawan agresor F-16 Fighting Falcon. Rasio kill kedua pesawat itu membuat mata terbelalak, 15:1. Artinya, satu F-35 bisa merontokkan 15 F-16 sebelum ditembak jatuh!
F-16 Fighting Falcon seperti kita tahu, dilahirkan berkat dorongan Fighter Mafia yang mencitrakan bagaimana sebuah pesawat tempur harus ringan, lincah, dan merajai pertempuran udara. Impian itu terwujud dalam program LWF (Light Weight Fighter) dan kemudian lahirlah F-16 yang kemudian jadi tulang punggung AU negara NATO dan sahabat AS termasuk Indonesia.
Tidak ada latihan yang lebih sempurna dari Red Flag untuk menguji performa F-35 yang dikritik karena biayanya yang terus membengkak. Latihan Red Flag 17 di Nellis Air Force Base menciptakan skenario operasi serangan udara yang realistis, termasuk memaksa pesawat penyerang beroperasi dalam lingkungan yang dipenuhi oleh ancaman jamming dan rudal antipesawat.
F-16 yang berasal dari skadron agresor AU AS memerankan diri sebagai bandit, atau pesawat musuh.
Kunci kemenangan F-35 adalah fusi sensor canggihnya, yang ketika terbang dalam formasi berhasil mengumpulkan kepingan informasi posisi lawan yang bertebaran di darat dan di udara. Sensor itu menjalin beragam informasi menjadi satu gambaran utuh melalui sistem manajemen jaringan pertempuran.
Informasi ini kemudian dipasok ke F-22, yang walaupun lebih jago soal urusan superioritas udara, tetapi tidak memiliki kemampuan networking antar pesawat.
F-35 adalah mata dan telinga yang menutup celah ini, sehingga F-22 Raptor dapat memburu lawannya dengan buas dan efisien. F-35 sendiri diposisikan sebagai pesawat sensor dan juga pesawat yang menjatuhkan munisi pintar untuk menghancurkan situs radar dan pertahanan udara lawan.
Paduan dari F-35 yang menyediakan data sasaran dan F-22 yang melindungi F-35, serta memburu sasaran yang datanya dipasok F-35 tersebut membuat F-16 agresor kewalahan.
“Hari pertama kami di sini, kami terbang dalam misi pertahanan udara (melawan agresor F-16) dan kami tidak kehilangan satupun pesawat kawan, ini belum pernah terdengar sebelumnya,” ungkap LetKol George Watkins, komandan 34th Fighter Squadron yang juga merupakan penerbang F-35.
F-35 sendiri juga mencatatkan kesiapan operasional yang mengagumkan dalam Red Flag 17-01 ini.
34th FS mampu mencatatkan 92% kesiapan dari seluruh pesawat F-35 dengan tidak satupun sorti dibatalkan karena alasan kerusakan teknis, dimana persentase ini jauh lebih tinggi dari rerata standar kesiapan pesawat AU AS yang mencapai 70-85%.
Dengan capaian misi seperti ini, F-35 boleh dikatakan mampu memenuhi ekspektasi para pendukungnya, dan merupakan salah satu faktor krusial yang akan menentukan keberhasilan fase IOC (Initial Operational Capability).
Keberhasilan F-35A boleh jadi akan membantu menaikkan pamor program F-35 yang menghadapi serangan bertubi-tubi, terutama karena terlambatnya pengembangan software Blok 3F. Berbagai masalah teknis soal desain F-35C untuk AL AS dan F-35B untuk Korp Marinir AS pun menghantui proyek F-35.
Yang jadi pertanyaan berikutnya, hasil 15:1 itu memang valid ketika F-35 dipadukan dengan F-22. Namun bagaimana jika F-22 tersebut dicabut dari ekuasinya? Sebagai catatan, sebagian besar negara yang berminat dan sudah membeli F-35 tidak diperbolehkan memiliki F-22.
Dalam beberapa kali ‘pertemuan’ simulasi antara F-35 vs F-16, sang elang penempur beberapa kali menjadikan F-35 jadi bulan-bulanan. Ini terjadi terutama dalam kondisi pertempuran jarak dekat alias dogfight, dimana F-16 yang lincah punya energi lebih banyak untuk melayani F-35 yang kalah lincah. Aryo Nugroho
Sumber : http://angkasa.co.id/