Ilustrasi |
Setelah kabar proyek jet tempur KFX/IFX yang bikin geger beberapa hari lalu, warganet pemerhati alutsista kembali dibuat heboh dengan pemberitaan di salah satu harian nasional, poinnya mirip meski tidak sama, yakni terkait soal keterlambatan pembayaran, diwartakan bahwa Indonesia tak kunjung melakukan pembayaran uang muka untuk proyek pengadaan satelit militer dari Airbus Defence and Space (ADS).
Seperti dilansir dari Kompas.id (23/10/2017), pihak ADS menyatakan kontrak dibatalkan karena Indonesia tak kunjung bayar uang muka proyek penganggaran satelit militer. Dalam APBN 2016-2017, telah dianggarkan sekitar Rp 1,3 triliun untuk uang muka pembelian satelit tersebut. Pengadaan satelit yang disebutkan khusus untuk keperluan militer dan dijadwalkan akan beroperasi pada 2019.
Masih dari sumber yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid membenarkan masalah pengadaan satelit militer itu. Ia mengakui, dalam rapat dengan Kemhan pekan lalu, masalah tersebut sudah disinggung secara sekilas. Pada rapat itu disebutkan bahwa ada kendala dalam pengadaan satelit militer. ”Tetapi belum ada rapat resmi untuk menjelaskan apakah satelit itu dibatalkan atau ditunda beserta apa alasannya,” kata Meutya.
Ia mengatakan, secara umum, Komisi I menilai Kemhan kurang terencana dalam pengajuan anggaran. Kedepan, diharapan ada komunikasi yang lebih baik antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan. Masukan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, Kemhan terkesan mengajukan rencana pembelian satelit militer itu secara mendadak. Padahal, belum ada penjelasan atau kelengkapan yang harusnya disiapkan jika melakukan proses pengadaan barang dan jasa.
Menanggapi informasi pembatalan pengadaan satelit, pihak ADS secara resmi tidak dapat memberikan komentar lebih detail, ADS lebih menyarankan agar dilakukan konfirmasi lebih lanjut kepada pihak Kementerian Pertahanan. Di laman Kompas.id, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Totok Sugiharto saat dikonfirmasi mengatakan, pengadaan satelit militer masih dalam pembahasan di Kemhan. Ia menolak kalau pengadaan satelit komunikasi militer itu dinyatakan gagal.
Seperti telah diketahui bersama, Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI telah resmi menunjuk Airbus Defence and Space untuk menggarap proyek satelit militer untuk Indonesia. Sebelumnya telah dilakukan tender yang diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems, serta produsen satelit dari Rusia. Merujuk ke situs kontan.co.id (13/4/2016), nilai proyek satelit ini mencapai lebih dari US$500 juta, belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang totalnya bisa mencapai sekitar US$300 juta. Total nilai proyek ini bahkan bisa mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp13 triliun.
Sebagai tindak lanjut, saat itu Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Muda M. Syaugi pernah menyebut, “Proyek ini sudah dikucuri anggaran sebesar Rp1,3 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.” Menurut jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir tahun 2018 dan roket beserta satelit bakal diluncurkan pada tahun 2019. Kemkominfo selaku administrator telekomunikasi telah menunjuk Kemhan sebagai operator satelit ini, dan telah menginformasikan penujukkan ini kepada ITU (International Telecommunication Union).
Merujuk pada kepentingan nasional, pengadaan satelit militer dinilai menjadi kebutuhan mendesak. Satelit militer dari ADS salah satunya digadang untuk kelak mengisi slot orbit Geo 123 Bujur Timur. Slot tersebut harus diisi paling lambat Januari 2018. Kalau tak dilakukan, RI kehilangan slot di atas Pulau Sulawesi. Terkait hal tersebut, Indonesia disebut-sebut akan menyewa satelit hingga proyek satelit ADS rampung di 2019.
Dalam Proyeksi dan Kegiatan Kemhan Tahun 2016, disebutkan bahwa komponen paket satelit militer Indonesia terdiri dari satu (1) unit satelit geostationer (GSO) dan tiga (3) unit satelit non geostationer (NGSO).
Dari kesemuanya, pemegang peran utama adalah satelit geostationer. Dengan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, fungsi satelit ini sebagai penunjang peran komunikasi. Karena sifatnya geostationer yang ‘standby’ diatas langit Nusantara, satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam selama rentang waktu 15 tahun. Satelit komunikasi militer ini berjalan di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot orbit 123BT.
Sementara untuk satelit non geostationer (NGSO), dari tiga unit yang dipesan, namun hanya dua unit yang ikut diorbitkan bersama satelit GSO. Sisanya satu unit satelit dipersiapkan sebagai cadangan di Bumi. Dengan pola operasi mengikuti orbit di Bumi, maka satelit terus bergerak mengikuti ritme yang telah ditentukan. Dalam 24 jam, setiap satelit 14 kali melintasi wilayah Indonesia (circular near equatorial).
Selain sengkarut masalah proyek jet tempur KFX/IFX dan satelit militer, proses pengadaan jet tempur Sukhoi Su-35 yang tinggal menunggu MoU juga dihadapkan pada tantangan baru. Setelah kesepatakan imbal beli dan offset disepakati antara Indonesia dan Rusia, potensi persoalan lain datang dari Pemerintahan Donald Trump yang akan menentukan sanksi baru pada Rusia.
Sejumlah perusahaan pertahanan termasuk United Aircraft Corporation yang membangun jet tempur Sukhoi dikabarkan masuk dalam daftar tersebut. Jika benar sanksi diterapkan pada perusahaan tersebut, maka akan mempengaruhi penjualan senjata Rusia ke berbagai negara. Bisa jadi juga akan berpengaruh pada rencana Indonesia untuk mengakuisi Su-35.
Pejabat pemerintah Trump menjelaskan kepada anggota parlemen bahwa mereka bermaksud menjatuhkan sanksi kepada individu-individu di Amerika Serikat dan tempat lain yang melakukan bisnis “signifikan” dengan entitas Rusia, memberikan peringatan dini bahwa kesepakatan tersebut harus segera berakhir. Bagaimana babak selanjutnya? Tentu kita harapkan ada kabar baik, mengingat keberadaan Su-35 penting untuk meningkatkan efek penggetar di kawasan. (Gilang Perdana)
Sumber : http://www.indomiliter.com/