Papua Indonesia |
Pengamat teroris dan intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya berpendapat, pelaku penembakan dan penyanderaan warga di Papua tidak bisa dilabeli sekadar Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Alasannya, karena ada dimensi politis dari gerakan mereka," ujar Harits,Kamis (23/11/2017).
Dimensi politis yang dimaksud terlihat dari tiga tuntutan mereka seperti yang diungkapkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Pertama, bubarkan Freeport. Kedua, militer Indonesia harus ditarik keluar dari Papua dan diganti dengan pasukan Keamanan PBB. Ketiga, Pemerintah Indonesia harus menyetujui pemilihan bebas atau referendum. Artinya rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri.
Kelompok kriminal bersenjata, lanjut Harits, melakukan kegiatannya untuk ekonomi semata, tidak dibumbui dengan unsur politik.
"Kalau kriminal tentulah enggak berbeda jauh dengan kriminal lainnya di berbagai tempat. Sementara, mereka terorganisir, punya jaringan dalam dan luar negeri, punya agenda politik dari aksi-aksi kriminal mereka," ujar Harits.
Dari tuntutan, lanjut Harits, mereka diindikasikan merupakan kelompok yang disokong beragam komponen.
"Ada orang lokal Papua yang oportunis dengan kepentingan politiknya. Orang-orang semacam ini banyak juga yang tinggal di luar negeri dan yang kedua adalah pihak asing juga perlu diwaspadai," ujar Harits.
Keberadaan asing ikut bermain, lanjut Harits, terbaca dari setiap gejolak di Papua diikuti dengan suara dari beberapa negara. Mereka mendorong bahkan memberi tekanan yang target utamanya adalah lepasnya Papua dari Indonesia.
"Jadi KKB adalah sejatinya OPM yang punya visi politik dan melakukan beragam perlawanan dan asing ikut bermain didalamnya," lanjut dia. (Fabian Januarius Kuwado)
Sumber : http://www.kompas.com/