Jet Tempur F-86 Sabre AS |
Dalam Perang Korea (1950-1953), Amerika Serikat bersekutu dengan Korea Selatan memerangi Korea Utara yang disokong Uni Soviet dan China.
Dalam perang ini, sejumlah mesin perang terbaru ikut ambil bagian salah satunya adalah jet tempur F-86 Sabre atau disebut Sabrejet milik AS.
Sementara di sisi yang berlawanan, Korea Utara menggunakan jet tempur buatan Uni Soviet MiG-15.
Kedua pihak sama-sama ingin tahu kekuatan dan kelemahan masing-masing pesawat tempur. Itulah yang mendorong Uni Soviet memutuskan untuk mencuri sebuah F-86 Sabre.
Amerika Serikat mulai menggunakan F-86 Sabre pada 1949. Sayap pesawat ini dirancang untuk membuatnya mampu mencapai kecepatan suara.
Dengan kemampuan terbangnya yang luar biasa ini, F-86 segera menjadi tulang punggung dalam pertempuran udara dalam Perang Korea, meski jenis-jenis pesawat dengan sayap tegak seperti F-80 dan F-84 masih digunakan.
Lalu, semua berubah ketika pada 1 November 1950, ketika Uni Soviet merespon kehadiran F-86 Sabre dengan jet terbarunya MiG-15.
Kedua pesawat ini amat mirip dalam hal rancangan, terutama bentuk sayapnya yang agak miring untuk membantu mencapai kecepatan suara. Namun, setiap pesawat memiliki kesepakatan dan kelemahan.
Sabre bisa mencapai kecepatan 1.100 kilometer per jam, kemudian bisa berguling, berbelok, dan menukik dengan kecepatan tinggi. Selain itu, Sabre memiliki desain yang secara aerodinamik lebih stabil.
Hal terpenting adalah, Sabre dilengkapi dengan radar AN/APG-30 yang berguna bagi pilot untuk mengarahkan senapan mesin kaliber 50 milimeter dengan lebih akurat.
MiG-15 juga bisa terbang dengan kecepatan yang hampir sama, tetapi lebih baik dalam hal akselerasi, terbang menanjak, bisa terbang lebih tinggi, dan lebih lincah bermanuver.
Namun, untuk persenjataan MiG-15 tak seakurat Sabre tetapi pesawat Uni Soviet ini dipersenjatai dengan dua senapan mesin kaliber 23 milimeter dan satu meriam 37 milimeter.
Secara umum, Sabre dan MiG-15 dalam banyak hal amat seimbang. Pertempuran udara yang melibatkan kedua jet canggih itu banyak terjadi di wilayah barat laut Korea Utara dalam koridor yang disebut "Mig Alley".
Koridor itu berada antara Korea Utara dan China serta membentang sepanjang Sungai Yalu menuju ke Laut Kuning.
Meski secara resmi MiG-15 itu dimiliki Korea Utara, tetapi sebagian besar pertempuran dilakukan para pilot Uni Soviet veteran Perang Dunia II.
Demikian pula para pilot AS yang menerbangkan F-86 Sabre adalah para veteran konflik bersenjata paling besar di dunia tersebut.
Kehadiran MiG-15 itu membuat superioritas AS di udara hilang dan AS tahu bahwa Uni Soviet terlibat dalam perang itu.
AS kemudian menggelar Operasi Moolah yaitu menggunakan para agen rahasia yang berada di wilayah Uni Soviet untuk menyebarkan isu.
Isu tersebut adalah bagi pilot Soviet yang membelot ke AS sambil membawa sebuah MiG-15 maka mereka akan mendapatkan uang 100.000 dolar dan kewarganegaraan AS.
Namun, tanpa disadari Amerika, Uni Soviet diam-diam sudah merencanakan langkah untuk mengalahkan rivalnya itu.
Pada 6 Oktober 1951, patroli yang dipimpin Letnan Dua Bill N Garret bertemu dengan Divisi Udara ke-324 Uni Soviet. Divisi ini beranggotakan para veteran terbaik dari Perang Dunia II.
Pesawat yang diterbangkan Letnan Garret tertembak dan dia diperintahkan kembali ke pangkalan sementara sisa tim patrolinya melanjutkan pertempuran.
Karena tak ingin pesawatnya berpotensi jatuh ke tangan musuh, maka Garret mematuhi perintah untuk kembali ke pangkalan.
Dalam perjalanan pulang, Garret bertemu dengan patroli udara Uni Soviet yang terdiri atas empat pesawat MiG-15 yang dipimpin Kapten Konstantin Sheberstov.
Berdasarkan wawancara dengan majalah penerbangan Rusia, Mir Aviatsii, saat itu asap hitam mengepul dari Sabre milik Garrett dan pesawat itu turun dari ketinggian jelajah dengan amat terkendali.
Melihat itu, Shebertsov kemudian terbang ke ketinggian 3.300 kaki dan saat dia mendekati pesawat Sabre di ketinggian 975-1.150 kaki, Shebertsov menembakkan senjatanya.
Peluru yang melesat dari MiG-15 itu mengenai bagian belakang kokpit Sabre itu dan menghancurkan mesin J-47 pesawat itu dan merusak sistem kursi pelontar.
Tak bisa membalas tembakan, Garret kemudian memulai manuver mengelak tetapi terus kehilangan ketinggian sementara Shebertsov terus membuntuti.
Sang pilot Soviet itu amat memahami pemerintahnya sangat menginginkan sebuah Sabre, sehingga dia menghadapi dilema.
Para pilot Uni Soviet tak diizinkan memasuki wilayah yang dikuasai PBB, dalam hal ini Korea Selatan.
Mereka juga tak bisa menembak pesawat musuh dalam jarak dekat untuk menghindari identifikasi, sebab secara resmi Uni Soviet tak terlibat dalam Perang Korea.
Aturan ini begitu kuat dipegang hingga jika seorang pilot Uni Soviet jatuh di laut maka dia akan diberondong rekannya sendiri untuk menghindari penangkapan atau identifikasi.
Jadi Shebertsov harus memaksa Garret mendarat sebelum dia memasuki wilayah udara PBB, tetapi dia juga tak bisa menghancurkan Sabre itu karena pemerintah Soviet menginginkannya.
Hal yang diinginkan Shebertsov adalah pesawat Garret turun dengan perlahan sehingga bisa mendarat tanpa mengalami banyak kerusakan.
Garret membawa Sabre itu ke arah pesisir Laut Kuning, mencoba sedekat mungkin dengan wilayah PBB. Dia yakin Soviet menginginkan pesawat Sabre itu sehingga dia berusaha menenggelamkannya ke laut.
Garret akhirnya tiba di pesisir tetapi gagal mencapai laut karena jatuh di pantai ketika pesawat penyelamat menemukan dan menolongnya.
Namun, pesawat Sabre F-86 yang dikemudikannya menjadi masalah karena terjebak di dalam lumpur. Pasukan Korea Utara melepaskan tembakan sehingga dia dan penyelamatnya harus meninggalkan tempat itu.
Di udara, pertempuran masih berkecamuk antara sejumlag MiG yang berusaha "melindungi" Sabre yang jatuh itu, sementara di sisi lain, beberapa Sabre berusaha mengusir para pilot Uni Soviet.
Lalu gelombang pasang tiba. Ratusan prajurit Korea Utara dan China berusaha secepatnya mencopoti bagian-bagian dari pesawat Sabre itu sebelum ditenggelamkan gelombang pasang.
Meski kehilangan tujuh MiG dalam pertempuran udara itu, Uni Soviet mendapatkan hadiahnya. Mereka membawa bagian-bagian Sabre tersebut dengan menggunakan truk ke Moskwa.
Iring-iringan truk Soviet itu harus berjalan di malam hari karena jet-jet Amerika terus mengintai hingga ke wilayah China dan bahkan sempat menembaki truk yang berada paling depan.
Dengan perlindungan para pilot Uni Soviet dan China, iring-iringan itu bisa mencapai Rusia. Beberapa kemudian, pada 24 Oktober, Uni Soviet kembali merebut sebuah pesawat Sabre.
Dipenuhi rasa putus asa, Amerika memperpanjang pelaksanaan Operasi Moolah ke wilayah China dan Korea Utara dengan menyiarkan dan menyebarkan pamflet berisi tawaran uang dan status kewarganegaraan AS.
Akhirnya upaya itu berbuah. Pada 21 September 1952, Letnan No Kum Sok membelot ke Korea Selatan dengan membawa MiG-15 buatan Uni Soviet mendarat di Pangkalan AU Kimpo. (Ervan Hardoko)
Sumber : http://www.kompas.com/